Mengapa Kamala Harris Kalah dalam Pemilu 2024 Melawan Donald Trump?

Wakil Presiden AS Kamala Harris. (EPA-EFE)

Mengapa Kamala Harris Kalah dalam Pemilu 2024 Melawan Donald Trump?

Willy Haryono • 9 November 2024 09:59

Washington: Dalam salah satu pertemuan penting dengan serikat buruh Amerika Serikat (AS) pada September lalu di Washington, Wakil Presiden Kamala Harris berusaha meyakinkan bahwa dirinya dan Partai Demokrat adalah pilihan terbaik untuk melindungi lapangan pekerjaan dan kesejahteraan pekerja. 

Namun, dukungan dari serikat pekerja tampak goyah. Pertemuan yang awalnya menjadi kesempatan untuk memperkuat dukungan buruh justru menunjukkan adanya jarak yang tak terjembatani antara Harris dan para pekerja kelas bawah yang merasa cemas dengan kondisi ekonomi saat ini. 

Keengganan untuk mendukung Harris pada akhirnya menjadi gambaran dari permasalahan yang lebih besar yang menghantui kampanye Harris hingga kekalahannya melawan Donald Trump pada pemilu 2024.

Meski Harris mencatat sejarah sebagai wanita kulit berwarna pertama yang memimpin tiket dari partai besar dan berhasil memicu antusiasme tinggi di awal kampanye, hal tersebut tidak cukup untuk memenangkan hati pemilih yang lebih memprioritaskan isu ekonomi.

Setelah Presiden AS Joe Biden secara mengejutkan memutuskan mundur dari pencalonan hanya beberapa bulan sebelum pemilu, Harris dengan cepat menyusun kampanyenya. Ia mengangkat isu ekonomi populis dan hak-hak reproduksi, sekaligus memperingatkan bahwa Trump berpotensi mengancam demokrasi dan hak-hak perempuan. 

Meski mendapat dukungan selebriti dan berhasil memecahkan rekor penggalangan dana, Harris tetap kesulitan untuk meredam kekhawatiran pemilih atas inflasi dan imigrasi.

Di tengah persaingan yang semakin ketat, Harris juga harus menghadapi arus besar misinformasi yang menyebar dengan cepat, banyak diantaranya berkaitan dengan catatan kebijakannya dan diperkuat oleh media sayap kanan. 

Melansir dari The Korea Times, Jumat, 8 November 2024, salah satu survei nasional menunjukkan bahwa mayoritas pemilih lebih mempercayai Trump dalam menangani ekonomi. Dalam survei tersebut, 51 persen responden menyatakan percaya pada Trump, sementara Harris hanya memperoleh 47 persen dukungan.

Ekonomi dan Dampak Serangan Misinformasi

Kampanye Harris juga berusaha menangani narasi keliru yang disebarkan tentang kinerjanya, terutama terkait isu ekonomi dan migrasi. Kampanye Trump sering kali menanggapi dengan mengulang klaim palsu atau menghindari untuk merespons permintaan klarifikasi dari media. 

Selain itu, masalah ekonomi semakin membebani Harris, dengan inflasi yang meningkat selama tiga tahun pemerintahan Biden menjadi isu utama yang membayangi kampanyenya.

Masalah Pemilih Tradisional dan Strategi Kampanye

Saat popularitas Harris mulai menurun, banyak pengamat politik mengkritik pilihannya atas Gubernur Minnesota Tim Walz sebagai pasangan calon. Sementara Walz berhasil menarik perhatian publik melalui penampilan media yang kuat, ia juga menarik kontroversi akibat ketidakakuratan tentang latar belakang militernya. 

Beberapa strategi Harris yang diharapkan bisa memperkuat dukungan dari pemilih di wilayah pedesaan tampaknya kurang efektif, khususnya di negara-negara bagian medan pertempuran.

Di akhir kampanye, Harris dan timnya juga berjuang untuk mempertahankan "Blue Wall" yang terdiri dari negara bagian Michigan, Pennsylvania, dan Wisconsin. 

Namun, di Michigan, Harris menghadapi tantangan besar dari komunitas Muslim dan Arab-Amerika yang kecewa dengan dukungan Biden terhadap Israel dalam konflik Gaza. Beberapa di antara mereka bahkan memilih untuk tidak memberikan suara atau mendukung Partai Republik.

Isu Ekonomi Sebagai Faktor Penentu

Meski Harris berusaha menunjukkan keberhasilan dalam pemulihan ekonomi setelah pandemi, masalah ekonomi yang mencolok seperti kenaikan harga pangan dan perumahan terus mendominasi perhatian pemilih. 

Banyak pemilih kelas pekerja mulai beralih ke Trump, menganggap kebijakannya lebih mendukung pekerja, khususnya di kalangan pekerja non-kuliah.

Di akhir kampanye, Harris mengubah strateginya untuk menarik lebih banyak pemilih laki-laki dan Partai Republik. Namun, waktu yang tersisa terlalu singkat untuk memulihkan dukungannya yang telah surut akibat berbagai faktor ekonomi, isu identitas, dan serangan misinformasi.

Pada malam pemilu, Trump berhasil mengumpulkan 279 suara elektoral, sementara Harris hanya mendapat 223 suara, meski beberapa negara bagian masih belum menghitung suara mereka. 

Kekalahan ini tidak hanya menyoroti tantangan bagi Harris dalam menghadapi ekonomi yang sedang sulit, tetapi juga perubahan signifikan dalam lanskap politik Amerika di mana pemilih kelas pekerja kini cenderung memilih Partai Republik. 

Harris, sebagai sosok perempuan dan anak dari imigran, mencatat sejarah dengan pencalonannya, namun berbagai tantangan membuat langkahnya terhenti sebelum mencapai Gedung Putih. (Muhammad Reyhansyah)

Baca juga:  Pidato di Hadapan Pendukung, Kamala Harris Akui Kekalahan dari Trump

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Willy Haryono)