Ilustrasi. MI/Seno
DALAM kunjungannya ke tanah Papua pada Rabu (5/7) hingga Jumat (7/7) pekan lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai secara umum hampir 99% tidak ada masalah besar di Papua. Selama tiga hari beraktivitas di sana, tak satu pun gangguan yang ditemui Presiden.
Karena itu, ia meminta semua pihak tidak perlu membesar-besarkan masalah kecil yang terjadi di sana. "Karena memang secara umum, 99% itu enggak ada masalah. Jangan masalah kecil dibesar-besarkan. Semua di tempat, di mana pun di Papua kan juga aman-aman saja," begitu kata Jokowi saat akan mengakhiri lawatannya.
Pernyataan Presiden itu bisa jadi lebih ke upaya menentramkan hati warga Papua ketimbang menyodorkan fakta apa adanya. Bisa juga laporan terkini soal Papua belum sampai ke tangan Presiden saat pernyataan itu dikeluarkan. Pasalnya, hingga hari ini pilot maskapai Susi Air, Philip Mehrtens, masih disandera kelompok kriminal bersenjata (KKB). Pilot berkewarganegaraan Selandia Baru itu disandera sejak Februari 2023 dan kini proses pembebasannya malah berlarut-larut.
Baiklah jika penyanderaan itu diklasifikasikan Presiden sebagai masalah sepele yang tak perlu dibesarkan. Namun, bagaimana dengan masalah kekerasan bersenjata yang masih berlangsung hingga kini?
Dalam catatan Imparsial, LSM pemerhati hak asasi manusia, pada rentang tahun 2021–2022 saja, warga sipil, anggota TNI, dan Polri yang tewas sudah di atas 50 orang akibat konflik dengan kelompok kekerasan bersenjata (KKB). Belum lagi tahun-tahun sebelumnya, korban kekerasan dan pelanggaran HAM banyak terjadi di Papua.
Jika jumlah warga tewas dalam dua tahun itu masih belum juga dikategorikan sebagai masalah besar, publik tentu bertanya-tanya, masalah seperti apa yang bisa dikatakan besar oleh Presiden? Karena satu nyawa melayang saja sudah terlalu banyak Pak Presiden. Presiden sudah sekian kali berganti orang, tetapi konflik di sana tetap terpelihara. Konsep penyelesaian, mulai pendekatan keamanan hingga kesejahteraan, tak jua memberi hasil.
Dalam catatan Kementerian Keuangan, dalam kurun waktu 20 tahun sejak 2002, transfer dana pusat ke Papua totalnya mencapai Rp1.092 triliun. Dana itu mencakup dana otonomi khusus (otsus) dan dana tambahan infrastruktur (DTI) yang mencapai Rp138,65 triliun, transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) Rp702,3 triliun, dan belanja kementerian/lembaga Rp251,29 triliun.
Namun, guyuran anggaran demikian besar tak juga membuat konflik mereda. Seringnya kunjungan Presiden ke Bumi Cendrawasih pun belum menjadi jaminan persoalan di sana sudah selesai. Dua penyelesaian itu saja sebagai cerminan bahwa persoalan di sana tak bisa dianggap sepele. Ada baiknya pemerintah mulai merancang kembali dari titik nol, duduk bersama dengan para tokoh Papua, untuk menyusun skema penyelesaian tanpa ada rasa saling curiga.
Pembahasan bisa berangkat dari hasil riset Tim Kajian Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang pada 2021 mengungkapkan, sedikitnya ada empat akar konflik di Papua. Akar pertama, masih adanya perbedaan perspektif sejarah dan status politik Papua saat proses integrasi ke NKRI. Kedua, yakni kekerasan dan pelanggaran HAM, utamanya selama pemerintahan Orde Baru berkuasa. Ketiga, kegagalan pembangunan di Papua. Riset LIPI pada tahun 2004 sampai 2008 menemukan, sekalipun pada masa itu sudah berlaku status otonomi khusus, guyuran dana otsus belum mampu meningkatkan kesejahteraan warga Papua.
Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, pada 2022 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua dan Papua Barat sangat rendah, yakni di level 61,39 dan 65,89, jauh di bawah rata-rata IPM nasional 72,91. IPM itu menjadi alat ukur pemerintah untuk menakar harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup sebuah provinsi.
Lalu akar konflik yang terakhir adalah berkaitan dengan diskriminasi. LIPI melaporkan, masih adanya persoalan diskriminasi rasialis yang marak dan terjadi di sana, terutama menyasar orang asli Papua.
Konflik Papua jangan dianggap sepele, dianggap remeh, karena faktanya pemerintah pusat belum bisa menyelesaikan konflik di Bumi Cendrawasih secara berkeadilan dan beradab. Dari 7 presiden Republik Indonesia, hanya Presiden Jokowi yang paling sering mengunjungi Papua, yakni sebanyak 16 kali kunjungan. Namun, kunjungan Jokowi akan memiliki makna jika konflik Papua segera bisa dituntaskan. Rakyat Papua merindukan kedamaian sejati.