Keputusan Mencabut Nama Soeharto dari TAP MPR Dikritik

Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid

Keputusan Mencabut Nama Soeharto dari TAP MPR Dikritik

Medcom • 26 September 2024 17:47

Jakarta: Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut nama Presiden Soeharto dari Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 dikritik. TAP tersebut memuat tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). 

"Ini langkah mundur perjalanan Reformasi. Jalan pengusutan kejahatan korupsi, kerusakan lingkungan maupun pelanggaran HAM selama 32 tahun Soeharto berkuasa belum selesai diungkap," kata Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, dalam keterangan tertulis, Kamis, 26 September 2024.

Menurut dia, MPR menciptakan preseden buruk yang membuka jalan pemutihan dosa-dosa penguasa masa lalu. Usman menganggap hal ini berdampak pada kian menyempitnya ruang gerak masyarakat sipil.

"Ini juga menyempitkan ruang gerak korban kejahatan masa lalu untuk menyuarakan hak-hak mereka," kata dia.
 

Baca: MPR Dorong Penghargaan Layak bagi Soekarno hingga Gus Dur

Usman mengatakan hal itu setelah berbicara dalam konferensi pers konsolidasi akbar yang dihadiri oleh lebih dari 300 perwakilan organisasi masyarakat sipil dalam acara Indonesia Civil Society Forum (ICSF) pada 25-26 September 2024 di Jakarta.

Usman memprediksi kebijakan itu akan mempersempit ruang sipil bagi para masyarakat sipil yang bergerak di sektor anti korupsi dan korban pelanggaran HAM masa lalu. Serangkaian peristiwa dibeberkan Usman.

Pertama, terkait korban peristiwa pembantaian orang-orang yang dicap pendukung PKI 1965-1966, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Tanjung Priok 1984, dan peristiwa Lampung 1989. Kemudian, peristiwa penghilangan paksa 1997-1998, Tragedi Trisakti dan Kerusuhan Mei 1998, hingga korban peristiwa pelanggaran HAM selama penetapan status DOM di Aceh, Papua dan Timor Timur. 

Apalagi, kata dia, keputusan MPR ini juga beriringan dengan gagasan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Menurut Usman, hal ini jelas melecehkan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM selama rezim Soeharto yang terus menuntut keadilan.

"Jika itu diambil, ini jelas berpotensi menghianati reformasi 1998, yang berusaha menjamin tegaknya kebebasan politik dan keadilan sosial," beber dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(M Sholahadhin Azhar)