'Seminar Mengembalikan Marwah MPR RI sebagai Pelaksana Kedaulatan Rakyat', Kamis, 6 Februari 2025.
Whisnu Mardiansyah • 6 February 2025 22:20
Bandung: Guru Besar Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara Universitas Padjajaran Bandung, Prof Dr I Gde Pantja Astawa menyatakan penyelenggaraan pemerintahan saat ini harus mempunyai maksud, arah dan tujuan yang jelas. Dari itu, diperlukan lagi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menjadi blue print dan kompas bagi Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan tertinggi yang ditetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI.
"Ketiadaan atau dihapuskannya (Amendemen) wewenang MPR menetapkan GBHN menyebabkan negara ini tidak memiliki cetak biru di dalam membangun negara sehingga arah dan tujuan Negara pun tidak jelas. Mau dibawa kemana Negara ini?," tegas Prof Gde, dalam 'Seminar Mengembalikan Marwah MPR RI sebagai Pelaksana Kedaulatan Rakyat', Kamis, 6 Februari 2025.
Selain ketentuan Pasal 3 UUD 1945 mengenai GBHN, Prof Gde juga menyinggung beberapa pasal dalam UUD 1945 yang diamendemen MPR RI. Di antaranya Pasal 1 ayat (1), Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 6 UUD 1945 yang telah diamendemen MPR RI. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 misalnya, di mana disebutkan jika 'Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat'. Ketentuan ini menegaskan bahwa salah satu pilar bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah kedaulatan rakyat.
"Secara harfiah, ketentuan Pasal 1 ayat (1) itu berarti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat," kata Prof Gde.
Pasal 2 ayat (1), bahwa 'Majelis Permuayawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan masing-masing'. Di mana diatur susunan keanggotaan MPR yang mencerminkan perpaduan antara political representation yang diwakili DPR dan functional representation yang diwakili oleh utusan daerah dan utusan golongan. Sehingga susunan keanggotaan MPR memperlihatkan wajah MPR sebagai penjelmaan rakyat.
"Utusan daerah jaduh lebih strategis dan signifikan ketika ikut ambil bagian di dalam merumuskan GBHN, daripada kedudukan dan kewenangan yang dimiliki DPD sekarang yang nyaris tidak jelas kinerjanya," tegas Prof Gde.
Selanjutnya Pasal 6 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa 'Presiden ialah orang Indonesia asli'. Menurut Prof Gde, ketentuan ini mengandung prinsip Equality before the law and goverment. Meskipun segala warga negara memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih Presiden, namun tidak semua warga negara memenuhi persyaratan untuk dipilih menduduki jabatan Presiden. Terutama jika yang bersangkutan bukan orang Indonesia asli.
Akademisi Hukum Tata Negara Muhammad Rullyandi mengatakan, pascaperubahan rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 oleh MPR RI, kini tidak lagi menempatkan MPR sebagai pelaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. "Rakyat sudah merasakan implikasi dari perubahan tersebut, terutama tidak terkontrolnya keputusan politik kenegaraan," kata dia.
Tidak terkontrolnya keputusan politik kenegaraan dimaksud, kata Rullyandi, terlihat dari keputusan yang seharusnya berorientasi pada keadilan sosial dan kepentingan umum. Belakangan menjadi lebih mengedepankan pada asas permusyawaratan.
"Realitasnya justru lebih mengara pada praktek demokrasi yang liberal dan pragmatisme politik, praktek-praktek yang sejatinya tidak sejalan dengan gagasan para pendiri negara," ucapnya.
Karena itu pula, ia mengetengahkan agar perubahan UUD Negara RI tahun 1945 perlu dipikirkan kembali untuk memperkuat peran dan posisi MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Sementara praktisi hukum Agus Widjajanto menyayangkan elit politik tidak melihat secara jernih sejarah terbentuknya desain negara dalam sistem ketatanegaraan. Dampaknya, amendemen secara langsung telah merubah sistem ketatanegaraan.
"Padahal sistem perwakilan dan musyawarah adalah manifestasi dari suara rakyat lewat majelis bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)," kata dia.
Agus mengaku belum bisa memahami bagaimana bisa terjadi sebuah UUD 1945 dilakukan perubahan. Padahal dasar negara tersebut sangat flamboyan dan merupakan mahakarya dari para pendiri bangsa dilakukan amandemen hingga ke empat kali.
"Perubahan itu secara nyata telah menimbulkan permasalahan demi permasalahan yang berakibat bangsa ini hanya berkutat pada konflik politik tiada henti," jelas Agus Widjajanto