Profil María Corina Machado, Pemenang Penghargaan Nobel Perdamaian 2025

Pemimpin oposisi Venezuela María Corina Machado dalam sebuah demonstrasi di Caracas, Venezuela, pada 28 Agustus 2024. (EFE/ Ronald Peña)

Profil María Corina Machado, Pemenang Penghargaan Nobel Perdamaian 2025

Riza Aslam Khaeron • 10 October 2025 17:12

Jakarta: Komite Nobel Norwegia menetapkan María Corina Machado, sebagai penerima Nobel Perdamaian 2025. tokoh oposisi dari Venezuela yang dikenal karena konsistensinya memperjuangkan demokrasi di tengah represi politik.

"Sebagai pemimpin gerakan demokrasi di Venezuela, María Corina Machado merupakan salah satu contoh paling luar biasa dari keberanian sipil di Amerika Latin dalam beberapa tahun terakhir," ujar Ketua Komite Nobel, Jørgen Watne Frydnes.

Lantas siapa Maria dan apa yang membuatnya pantas mendapatkan penghargaan prestisis tersebut? Berikut profil Maria Corina Machado.
 

Kehidupan, Pendidikan, dan Karier Politik

María Corina Machado lahir di Caracas, Venezuela, pada 7 Oktober 1967. Ia berasal dari keluarga berpengaruh: ayahnya, Henrique Machado Zuloaga, adalah pengusaha baja yang juga dikenal sebagai keponakan Armando Zuloaga—tokoh oposisi yang gugur dalam pemberontakan melawan diktator Juan Vicente Gómez. Ibunya, Corina Parisca, adalah seorang psikolog.

Garis keturunan Machado juga bersambung ke tokoh-tokoh sejarah Venezuela seperti Eduardo Blanco dan Ricardo Zuloaga.

Machado menyelesaikan studi sarjananya di bidang teknik industri di Universidad Católica Andrés Bello dan meraih gelar master keuangan dari Instituto de Estudios Superiores de Administración (IESA). 

Kiprahnya dalam dunia sosial dimulai pada awal 1990-an melalui pendirian Fundación Atenea, sebuah yayasan yang memberi bantuan kepada anak-anak jalanan di Caracas. Namun, langkah besarnya ke dunia politik terjadi pada 2002, saat ia ikut mendirikan organisasi pemantau pemilu Súmate bersama Alejandro Plaz.

Organisasi ini mendorong referendum terhadap Presiden Hugo Chávez pada 2004, namun kemudian menghadapi tuduhan pengkhianatan karena menerima dana dari luar negeri. Tuduhan ini menuai kecaman dari berbagai lembaga internasional, termasuk Human Rights Watch dan Kementerian Luar Negeri AS.

Pada 2010, Machado terpilih sebagai anggota Majelis Nasional mewakili Miranda dan meraih suara tertinggi nasional dalam pemilu legislatif. Selama masa jabatannya (2011–2014), ia dikenal vokal mengkritik nasionalisasi industri, krisis ekonomi, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Ia juga mencalonkan diri dalam pemilihan pendahuluan presiden tahun 2012, meski kalah dari Henrique Capriles.

Machado dikeluarkan secara paksa dari Majelis Nasional pada 2014 setelah tampil sebagai perwakilan alternatif Panama dalam sidang Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) untuk membahas situasi Venezuela. Ia tetap aktif dalam demonstrasi oposisi, menjadi target kekerasan politik, dan beberapa kali mengalami serangan fisik dari kelompok pro-pemerintah.
 

Oposisi Melawan Maduro

Setelah wafatnya Hugo Chávez pada 2013, María Corina Machado menjadi salah satu tokoh pertama yang menentang legitimasi Nicolás Maduro sebagai penerus kekuasaan Hugo Chavez.

Baginya, pemerintahan Maduro bukan sekadar kelanjutan dari otoritarianisme Chávez, tetapi memperburuk krisis kemanusiaan, ekonomi, dan politik nasional. Machado menyebut Venezuela di bawah Maduro sebagai "ancaman nyata, nyata dan berkembang bagi keamanan belahan bumi ini.”

Sejak awal, Machado menolak pendekatan kompromi terhadap rezim Maduro. Ia justru memilih strategi konfrontatif dengan memobilisasi dukungan rakyat melalui kampanye akar rumput dan membangun jejaring diplomasi internasional.

Strateginya memuncak dalam pemilihan primer oposisi Oktober 2023, di mana ia memperoleh lebih dari 90% suara. Kemenangan mutlak itu menandakan bahwa rakyat oposisi mempercayainya sebagai figur utama penantang Maduro.

Namun, rezim segera bereaksi. Mahkamah Agung yang dikendalikan pemerintah membatalkan hasil pemilu primer dan melarang Machado mencalonkan diri dalam pemilu presiden Juli 2024.

Meski secara hukum tidak dapat mencalonkan diri, Machado tetap memimpin gerakan oposisi dari balik layar. Ia menggalang dukungan massa secara langsung, mengenakan setelan putih dan kalung rosario sebagai simbol perjuangan moral.

Julukan "la libertadora" melekat padanya, mengingatkan pada Simón Bolívar sebagai pembebas Venezuela.

Machado lantas menunjuk mantan diplomat Edmundo González Urrutia sebagai kandidat pengganti. Upaya ini pun tidak luput dari sabotase. González mengalami kriminalisasi, intimidasi, dan akhirnya mengasingkan diri ke Spanyol. Machado kembali menjadi target penindasan. Maduro bahkan menyebutnya sebagai "pengecut" dalam pidato resmi negara.

Pemilu presiden Venezuela pada Juli 2024 dianggap sebagai salah satu pemilu paling kontroversial dalam sejarah negara itu. Komisi Pemilihan Nasional (CNE) yang dikendalikan pemerintah mengumumkan kemenangan Maduro secara sepihak tanpa menyampaikan hasil suara yang transparan.

Sementara itu, tim relawan oposisi mencatat data paralel yang menunjukkan kemenangan mutlak González, dengan klaim mencapai lebih dari 73% suara dari pemilih yang terdata melalui sistem audit independen dan relawan saksi TPS.

Setelah pemilu, Machado memilih untuk tetap berada di Venezuela meski menjadi buronan. Ia melakukan kampanye gerilya: muncul mendadak dari bak truk di jalanan, lalu menghilang dengan sepeda motor. Pada 9 Januari 2025, ia sempat ditangkap paksa setelah terjatuh dari motor usai memimpin protes.

Timnya mengklaim ia dipaksa merekam video dan kemudian dibebaskan. Pemerintah membantah kejadian tersebut. Namun, Machado tetap bersikukuh.

“Jika sesuatu terjadi pada saya, instruksinya tegas: tidak seorang pun boleh menukar kebebasan Venezuela dengan kebebasan saya,” ujar Machado, melansir France24.
 

Memenangkan Penghargaan Nobel Perdamaian 2025

Pada Jumat, 10 Oktober 2025, Komite Nobel Norwegia secara resmi menganugerahkan Penghargaan Nobel Perdamaian 2025 kepada María Corina Machado atas perjuangannya yang konsisten dan penuh keberanian melawan otoritarianisme di Venezuela.

“Machado telah menjadi sosok kunci yang menyatukan oposisi politik yang sebelumnya sangat terpecah—sebuah oposisi yang akhirnya menemukan titik temu dalam tuntutan terhadap pemilu yang bebas dan pemerintahan yang representatif,” ujar Ketua Komite Nobel Norwegia, Jørgen Watne Frydnes, dalam pernyataan pers di Oslo.

Komite menilai bahwa penghargaan ini bukan hanya pengakuan terhadap sosok Machado secara pribadi, tetapi juga kepada seluruh rakyat Venezuela yang memperjuangkan demokrasi, supremasi hukum, dan kebebasan sipil di tengah represi yang brutal.

Komite menyatakan bahwa “Machado telah menjadi simbol harapan bagi banyak warga Venezuela yang menginginkan perubahan politik secara damai dan demokratis.”

Lebih lanjut, dalam pernyataan tersebut disebutkan bahwa keputusan pemberian Nobel Perdamaian kepada Machado “berakar pada keyakinan bahwa hak asasi manusia dan demokrasi hanya dapat ditegakkan ketika warga negara memiliki keberanian untuk menantang ketidakadilan secara langsung.”

Penghargaan ini menjadikan María Corina Machado sebagai penerima Nobel Perdamaian pertama dari Venezuela dan menempatkannya dalam barisan langka tokoh wanita yang berhasil memenangkan penghargaan Nobel. 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Anggi Tondi)