Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Foto: Anadolu
Muhammad Reyhansyah • 10 October 2025 14:05
Oslo: Menjelang pengumuman penerima Nobel Perdamaian 2025, Norwegia, tuan rumah penghargaan bergengsi tersebut berada dalam situasi yang tidak biasa. Para pejabat di Oslo dikabarkan bersiap menghadapi kemungkinan ledakan emosi dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump apabila ia tidak terpilih sebagai pemenang, yang dikhawatirkan dapat memicu ketegangan diplomatik.
Meskipun pemerintah Norwegia tidak memiliki peran dalam menentukan siapa yang meraih Nobel, kekhawatiran muncul karena adanya anggapan bahwa Trump mungkin tidak memahami sepenuhnya independensi Komite Nobel. Pemimpin Partai Kiri Sosialis, Kirsti Bergstø, menyatakan kekhawatirannya terhadap potensi reaksi tak terduga dari Trump.
“Komite Nobel adalah lembaga independen, dan pemerintah Norwegia tidak terlibat dalam menentukan pemenang. Tapi saya tidak yakin Trump tahu soal itu. Kami harus siap menghadapi apa pun,” ujar Bergsto, seperti dikutip India Today, Jumat, 10 Oktober 2025.
Ketertarikan Trump terhadap Nobel Perdamaian sudah lama terlihat. Rasa frustrasinya sebagian muncul karena pendahulunya, Barack Obama, memperoleh penghargaan tersebut pada 2009 atas “upaya luar biasa dalam memperkuat diplomasi internasional dan kerja sama antarbangsa.” Trump berulang kali menegaskan bahwa tindakannya, termasuk perjanjian Abraham antara Israel dan sejumlah negara Arab, lebih layak mendapat pengakuan global.
Dalam beberapa bulan terakhir, Trump mengklaim telah “mengakhiri delapan perang,” menyebut konflik antara India dan Pakistan, Israel dan Iran, serta Mesir dan Ethiopia meski tidak ada satu pun dari negara-negara itu yang sebenarnya sedang berperang. Klaim tersebut telah dibantah oleh pemeriksa fakta, namun memperlihatkan sejauh mana ia menginginkan pengakuan internasional yang melekat pada penghargaan Nobel.
Menurut laporan The Guardian, Komite Nobel telah memilih penerima penghargaan tahun ini sebelum pemerintahan Trump mengumumkan kesepakatan gencatan senjata Israel–Gaza, yang sempat dianggap sebagian pendukungnya sebagai peluang untuk memperkuat posisinya. Meski begitu, para analis menilai peluang Trump memenangkan penghargaan tersebut tetap “sangat kecil.”
Laporan lain menyebut Trump pernah secara tiba-tiba menelepon Menteri Keuangan Norwegia saat itu, Jens Stoltenberg, dengan dalih membahas tarif dagang, namun kemudian mengalihkan percakapan ke topik Nobel Perdamaian. Panggilan yang mengejutkan pejabat Norwegia itu mempertegas obsesi sang presiden terhadap penghargaan tersebut.
Sementara itu, para politisi di Norwegia tetap berhati-hati. Riwayat Trump yang kerap menyerang pihak yang dianggap menyinggungnya, baik di dalam maupun luar negeri, membuat Oslo merasa tidak nyaman. Dengan rekam jejaknya yang pernah mengancam sekutu dengan sanksi dan tarif, kemarahan pasca-pengumuman Nobel berpotensi menimbulkan gangguan diplomatik kecil bagi Norwegia, meskipun negara itu sama sekali tidak memiliki kendali atas proses penentuan pemenang.
Trump sendiri tampak tidak peduli dengan spekulasi tersebut. Berbicara di Gedung Putih awal pekan ini, ia mengatakan, “Mereka memberikannya kepada Obama yang justru menghancurkan negara kita. Pemilihan saya jauh lebih penting.” Ia menambahkan, “Tidak ada satu pun dalam sejarah yang berhasil menyelesaikan delapan perang dalam sembilan bulan. Tapi terserah mereka. Apa pun keputusan mereka, silakan.”
Saat Komite Nobel bersiap mengumumkan penerima penghargaan tahun ini, Oslo bukan hanya menanti tepuk tangan dunia, tetapi juga bersiap menghadapi badai politik yang mungkin menyertainya. Ironisnya, untuk penghargaan yang diciptakan demi perdamaian, satu-satunya orang yang paling menginginkannya justru bisa menjadi sumber gejolak baru.