Produksi Opium Myanmar Turun untuk Kali Pertama Sejak 2021

Myanmar adalah produsen heroin terbesar kedua di dunia setelah Afghanistan. (UNODC - Anadolu Agency)

Produksi Opium Myanmar Turun untuk Kali Pertama Sejak 2021

Willy Haryono • 14 December 2024 13:16

Shan: Produksi opium di Myanmar mengalami penurunan pertama sejak kudeta militer pada 2021, menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Meski demikian, negara tersebut masih menjadi produsen terbesar opium di dunia, dengan hasil panen tahun ini tetap menjadi salah satu yang tertinggi dalam dua dekade terakhir.

Melansir dari Malay Mail, Jumat, 13 Desember 2024, produksi opium di Myanmar menjadi 995 ton pada tahun 2024, menurun dibandingkan dengan 1.080 ton satu tahun sebelumnya, menurut data Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC). 

Penurunan ini merupakan kali pertama sejak kudeta militer yang mengguncang negara tersebut pada 2021, meski Myanmar tetap mempertahankan posisinya sebagai produsen utama opium di dunia.

Wilayah perbatasan terpencil Myanmar, khususnya negara bagian Shan yang menghasilkan sekitar 80 persen opium di negara itu, telah lama menjadi pusat produksi tanaman tersebut. 

Di wilayah ini, kelompok bersenjata etnis minoritas dan jaringan kriminal mengolah opium menjadi heroin, sementara aparat penegak hukum kerap mengabaikan perdagangan bernilai miliaran dolar tersebut.

Penelitian UNODC menunjukkan bahwa konflik yang meningkat di wilayah tradisional penanaman opium, ditambah dengan pembatasan pergerakan ke daerah terpencil dan musim hujan yang ekstrem, menjadi faktor utama penurunan hasil panen tahun ini. 

Selain itu, laporan juga menyebutkan bahwa kelebihan pasokan di pasar heroin regional serta perubahan dalam rantai pasok global narkotika kemungkinan menekan permintaan ekspor opium dan menyebabkan penurunan harga.

Namun, UNODC mencatat bahwa hasil panen tahun ini masih menjadi yang terbesar kedua dalam 20 tahun terakhir, yang tetap menjadikan opium sebagai salah satu sumber pendapatan utama Myanmar. 

Kondisi ekonomi negara yang memburuk sejak kudeta, termasuk kontraksi sebesar 1 persen yang diproyeksikan Bank Dunia untuk tahun fiskal yang berakhir pada Maret 2025, meningkatkan risiko ekspansi lebih lanjut dalam produksi opium seiring dengan adaptasi rantai pasok dan perbaikan metode budidaya.

Perwakilan Regional UNODC untuk Asia Tenggara dan Pasifik, Masood Karimpour, memperingatkan bahwa situasi tersebut dapat memicu peningkatan produksi opium di masa depan. Di sisi lain, menteri dalam negeri junta Myanmar sebelumnya mengakui adanya tantangan besar dalam menekan budidaya opium.

Kudeta militer yang terjadi pada tahun 2021 telah memicu krisis sosial dan ekonomi, konflik bersenjata, serta memaksa lebih dari tiga juta orang mengungsi, menurut laporan PBB. Hingga berita ini ditulis, otoritas junta belum memberikan tanggapan atas temuan terbaru PBB ini. (Muhammad Reyhansyah)

Baca juga:  PBB: Kudeta Militer Picu Peningkatan Produksi Opium Myanmar

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Willy Haryono)