Protes Pembatasan Taliban, Aktivis Perempuan di Jerman Gelar Aksi Mogok Makan

Sekelompok perempuan menunggu di luar sebuah universitas di Kabul, Afghanistan, 26 Februari 2022. (AP/Hussein Malla, File)

Protes Pembatasan Taliban, Aktivis Perempuan di Jerman Gelar Aksi Mogok Makan

Willy Haryono • 3 September 2023 15:49

Berlin: Sekelompok aktivis perempuan Afghanistan di Jerman melancarkan aksi mogok makan, yang menandai hari ketiga pada Minggu, 3 September 2023, sebagai bentuk protes terhadap pembatasan yang diberlakukan kelompok Taliban terhadap perempuan dan anak perempuan di Afghanistan.

Para aktivis melalui media sosial telah membagikan video yang mengecam apa yang mereka sebut sebagai "apartheid gender" di Afghanistan, dan menyerukan perhatian internasional atas situasi mengerikan ini.

Tamanna Zaryab Paryani, seorang aktivis hak-hak perempuan, menyatakan bahwa, "Protes ini merupakan respons terhadap terorisme. Kami menuntut pengakuan global terhadap apartheid gender yang masih berlangsung di Afghanistan."

Mengutip dari laman Amu.tv, Paryani menegaskan komitmennya untuk melakukan aksi mogok makan hingga 12 September.

Sejauh ini, para aktivis perempuan di Jerman telah menyampaikan tiga tuntutan utama: pengakuan apartheid gender, penghentian semua dukungan keuangan dan kunjungan resmi ke pejabat Taliban, dan pembebasan segera aktivis, jurnalis, dan anggota masyarakat sipil yang telah ditahan oleh Taliban.

"Kami menyerukan kepada seluruh rakyat Afganistan untuk bersuara melawan ketidakadilan yang dilakukan terhadap perempuan di Afganistan, dan kami mohon masyarakat internasional untuk mengambil tindakan tegas sebagai tanggapannya," ujar aktivis lain yang ikut serta dalam aksi mogok makan.

Pembatasan Mengerikan

Sementara itu, Richard Bennett, Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Afghanistan, menyatakan keprihatinan besar atas pembatasan "mengerikan" yang diberlakukan Taliban terhadap perempuan dan anak perempuan di negara tersebut.

Selama wawancara dengan Amu TV, Bennett menggarisbawahi bahwa tidak ada negara yang akan mengakui Afghanistan di bawah pemerintahan Taliban jika perempuan terus mengalami diskriminasi.

Bennett menyesalkan lebih dari 60 keputusan yang diterapkan otoritas de facto Taliban, yang sangat membatasi hak-hak perempuan dan anak perempuan di seluruh Afghanistan. Ia berpendapat bahwa pembatasan ini tidak hanya berdampak buruk bagi masa depan Afghanistan, tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi dan psikologis pada separuh populasi.

Lebih lanjut, Bennett mengecam keterbatasan Taliban dalam bidang pendidikan, pekerjaan, dan mobilitas perempuan sebagai hal yang "tidak dapat diterima." Pembatasan ini, tegasnya, harus dibatalkan untuk memastikan masa depan yang lebih cerah bagi Afghanistan dan perempuan di dalamnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Willy Haryono)