Podium Media Indonesia: Revolusi belum Selesai

Dewan Redaksi Media Group Ade Alawi. MI/Ebet

Podium Media Indonesia: Revolusi belum Selesai

Media Indonesia • 16 September 2025 06:35

BERDIRI dengan gagah, berpidato menggelora, berapi-api. Itulah Avishkar Raut, ketua siswa di Everlasting Imperial Institute, Holy Bell English Secondary School, Dhulabari, Jhapa, Nepal.

Tak hanya gaya orasi remaja usia 16 itu yang memukau di podium sekolahnya dalam acara tahunan ke-24 pada Jumat, 14 Maret 2025. Secara substansi pidatonya juga menukik tajam, membumi, menyengat, dan berhasil meledakkan 'bom waktu' seabrek masalah di 'Negeri Himalaya' yang selama ini terpendam.

"Hari ini saya berdiri di sini, berdiri di sini dengan impian membangun Nepal yang baru, dengan api harapan dan semangat yang membara dalam diri saya, " kata Raut dalam pidatonya yang berjudul Jay Nepalatau Hidup Nepal.

Sontak pidatonya disambut aplaus dan dukungan atas apa yang disuarakannya. Ruangan auditorium sekolah bergemuruh. Raut mengajak rekan-rekannya tidak diam, termangu, melihat ketidakberesan di negeri mereka.

"Kalau bukan kalian yang bersuara, siapa lagi? Kalau bukan kalian yang membangun bangsa ini, siapa lagi? Kita ialah api yang akan membakar habis kegelapan. Kita ialah badai yang akan menyapu bersih ketidakadilan dan membawa kemakmuran," tandasnya, dengan suara bergetar.

Pidatonya kemudian viral di jagat media sosial. Raut tak hanya mengobarkan semangat perlawanan kepada rezim di atas podium, tetapi juga memimpin aksi di jalanan.

Unjuk rasa yang dimotori gen Z itu semula dipicu pemblokiran media sosial serta gaya hidup pejabat dan keluarga mereka, tetapi meluas menuntut penguasa mundur karena menjadi biang kehancuran negeri.

Ibu kota Nepal, Kathmandu, yang selama ini tenang, tiba-tiba dilanda gelombang demonstrasi berujung kerusuhan yang sangat masif dan mengerikan. Gedung pemerintah, parlemen, fasilitas publik, dan rumah pejabat luluh lantak dilalap api kemarahan.

Sang PM, KP Sharma Oli, mengundurkan diri. Kini, mantan Ketua Mahkamah Agung Nepal Sushila Karki memimpin Nepal. Namanya muncul atas pilihan gen Z karena memiliki rekam jejak yang mentereng, citra bersih, selama menjadi Ketua MA.

Dia tidak menoleransi praktik rasuah dan terorisme. Kalangan muda memilihnya secara kilat di platform komunikasi digital, Discord.
 

Baca Juga: 

Pelajaran Penting dari Nepal dan Prancis


Pada usianya yang ke-73, Karki menjadi perempuan pertama yang menduduki jabatan tertinggi di pemerintahan sementara. Dia akan menjabat sampai pemilu pada 5 Maret 2026.

Dalam pernyataannya setelah dilantik, dia mengaku tidak ingin terpilih sebagai PM Nepal. Namun, karena gen Z memilihnya, dia akan menjalankan amanah itu sebaik-baiknya . “Apa yang dituntut kelompok ini ialah korupsi diakhiri, tata kelola yang baik, dan kesetaraan ekonomi," ujarnya.

Di sisi lain, Karki secara tegas mengecam segala perusakan, pembakaran, kekerasan, dan penjarahan. Aksi berdarah di Nepal menyebabkan 72 orang tewas dan 191 orang menjalani perawatan di rumah sakit.

Tantangan Karki tidak mudah, berat, sangat berat. Dia harus memulihkan kondisi negeri yang hancur porak-poranda, menegakkan hukum dan ketertiban, membangun gedung pemerintah dan parlemen serta fasilitas negara lainnya yang hancur. The last but not least, dia harus mendinginkan amarah anak muda yang menuntut perubahan negeri yang lebih baik.

Permasalahan di Nepal bersifat multimensi sehingga gen Z menuntut perubahan yang radikal. Menurut Human Development Report 2024 yang dirilis UNDP, seperti dikutip Editorial Media Indonesia, Senin (15/9), sebanyak 20,1% penduduk Nepal mengalami kemiskinan multidimensional dalam aspek pendidikan, kesehatan, dan standar hidup.Aplikasi berita terkini

Demikian pula tingkat pengangguran, terutama di kalangan anak muda, juga tinggi di tengah hidup mewah para pejabat mereka.

Perjuangan gen Z di Nepal belum selesai. Mereka bertekad akan terus mengawal pemerintahan sementara hingga terbentuknya pemerintahan defintif hasil pemilu tahun depan.

Perlawanan mereka disebut terinspirasi oleh demonstrasi di Indonesia. Mereka menggunakan simbol-simbol yang sama, seperti bendera One Piece, dan menyuarakan isu-isu yang serupa, yakni korupsi dan ketidakadilan.

Di Tanah Air, meskipun gelombang demonstrasi mulai mereda, kalangan muda yang menyampaikan 17+8 Tuntutan Rakyat masih terus mengawal realisasi dari tuntutan tersebut, baik dalam aksi di jalanan ataupun di media sosial.

Mereka yang berada di garis depan mengawal tuntutan tersebut ialah mahasiswa, public figure, diaspora, influencer, dan kreator konten, seperti Ferry Irwandi.

Sebanyak enam pihak yang dituntut, yakni Presiden Prabowo Subianto, DPR, ketua umum partai politik, Polri, TNI, dan kementerian sektor ekonomi.

Kemarahan kolektif yang berangkat dari keresahan kolektif rakyat menggumpal dan gagal direspons pemerintah dan elite politik. Mereka masih terus bersiasat menyelamatkan kekuasaan mereka dengan berbagai cara atas nama prosedur demokrasi.

Sejarah pergerakan Indonesia dimotori anak muda, seperti Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945, dan Reformasi 1998. Sialnya, sejumlah mantan aktivis 1998, alih-alih menjaga cita-cita reformasi, malah mengkhianati reformasi dengan ikut menjadi koruptor dan buzzer ketika berada di ketiak kekuasaan.

Revolusi, kata Bung Karno, belum selesai. Revolusi bukan sekadar membentuk negara nasional dari Sabang sampai Merauke. "Tetapi bertujuan membentuk suatu masyarakat adil dan makmur," ujarnya ketika meresmikan Universitas Pattimura di Ambon pada 23 April 1963. Tabik!

(Ade Alawi)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)