Ketua Umum Backstagers Indonesia, Andro Rohmana. Istimewa
Al Abrar • 14 August 2025 14:42
Jakarta: Backstagers Indonesia Event Management Association menolak kebijakan penerapan royalti 2 persen pada acara pernikahan. Ketua Umum Backstagers Indonesia, Andro Rohmana, menilai kebijakan itu salah kaprah, tidak memiliki dasar hukum kuat, dan berpotensi merugikan masyarakat serta menghambat pertumbuhan industri event management di Tanah Air.
“Pernikahan bukan konser musik komersial. Penerapan royalti 2 persen pada acara personal seperti pernikahan tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Tolong sudahi akrobat-akrobatnya,” tegas Andro dalam siaran pers, Kamis, 14 Agustus 2025.
Menurutnya, industri event global yang diproyeksikan mencapai USD 1,76 triliun pada 2029 adalah peluang besar bagi Indonesia. Namun, potensi itu terancam oleh kebijakan yang dinilai tidak tepat sasaran. Andro menyoroti kebingungan publik akibat narasi yang berulang kali memicu kegaduhan tanpa memberikan pemahaman komprehensif mengenai regulasi.
Ia menjelaskan, ekosistem industri event management di Indonesia terbagi dalam berbagai sub-sektor dengan karakteristik berbeda, seperti event korporasi, promotor konser musik, dan wedding organizer. Perbedaan tersebut memiliki implikasi hukum signifikan, sehingga penyamarataan seluruh jenis acara sebagai konser musik dinilai keliru.
Backstagers Indonesia memaparkan bahwa sejumlah regulasi yang menjadi acuan memiliki ruang lingkup terbatas. Misalnya, PP No. 56 Tahun 2021 mengatur layanan publik bersifat komersial tanpa menyebut acara privat seperti pernikahan. Sementara SK LMKN 2016 hanya mengatur tarif royalti untuk konser musik berbayar dan gratis, bukan acara keluarga.
Andro juga mengkritik pernyataan Wahana Musik Indonesia (WAMI) yang menyebut pemutaran atau penampilan musik di pernikahan dikenai royalti 2 persen dari biaya produksi musik. “Di manapun, undangan pernikahan selalu dimaknai sebagai pernikahan. Ketika ada hiburan, lalu diinterpretasi sendiri sebagai konser, itu salah kaprah dan merugikan masyarakat,” ujarnya.
Sebagai perbandingan, di Australia, Inggris, dan Jepang, acara pernikahan pribadi tidak dikenakan royalti seperti konser publik. Andro mengusulkan agar lisensi musik dibebankan kepada venue atau dimasukkan dalam kontrak dengan promotor acara.
“Kami paham pentingnya perlindungan hak cipta dan penghargaan terhadap karya musik. Namun, kebijakan royalti harus proporsional, berbasis regulasi, dan mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi. Kebijakan keliru bisa meredam pertumbuhan industri kreatif,” pungkasnya.
Backstagers Indonesia menaungi 2.000 anggota di 24 provinsi dan telah menerbitkan Manifesto Backstagers sebagai peta jalan pengembangan standar kompetensi, advokasi regulasi, dan perlindungan ekosistem event berbasis kajian hukum serta praktik terbaik global.