Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat (Rerie). Dok Medcom.id
Achmad Zulfikar Fazli • 5 November 2025 20:21
Jakarta: Pemahaman anggota keluarga terkait dengue harus menjadi benteng pertama dalam upaya penanggulangan demam berdarah dengue (DBD) di Tanah Air. Hal ini disampaikan Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat (Rerie) saat membuka Dialog Kebijakan Terkait Dengue bertema Membangun Sistem Pelaporan dan Peringatan Dini yang Terintegrasi Menuju Nol Kematian Akibat Dengue pada Tahun 2030.
"Dengue bukan semata soal kesehatan, melainkan persoalan nasional yang juga terkait dengan lingkungan dan ketahanan keluarga," kata Rerie dalam dialog yang digelar bersama MPR, Koalisi Bersama (KOBAR) Lawan Dengue, dan Forum Diskusi Denpasar 12 (FDD 12) di Ruang Delegasi, Gedung Nusantara V, Kompleks MPR RI/DPR RI/DPD RI Senayan, Jakarta, Rabu, 5 November 2025.
Menurut Rerie, kasus dan kematian akibat dengeu terus terjadi. Selain itu, masih banyak orang yang tidak memahami bila terinfeksi dengue, bahkan hingga berakibat fatal.
Rerie berpendapat diperlukan cara pandang lain dalam upaya penanggulangan dengue yang disebabkan banyak faktor itu. Keberadaan KOBAR Lawan Dengue yang terdiri dari berbagai pihak terkait itu, menurut Rerie, penting dalam penyusunan kebijakan penanggulangan dengue.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berpendapat upaya mewujudkan Nol Dengue pada 2030 adalah sebuah keniscayaan. Hal itu tergantung bagaimana Indonesia mampu membangun kolaborasi yang kuat dalam mewujudkan sistem penanggulangan dengue yang menyeluruh.
Sementara itu, Ketua Umum KOBAR, Suir Syam mengungkapkan terjadi gap data yang besar antara Kemenkes RI dan BPJS Kesehatan. Data Kemenkes RI, tambah Suir, mencatat kasus dengue 257 ribu, sedangkan data BPJS Kesehatan mencatat 1 juta penderita dengue dirawat di rumah sakit.
"Ada under reporting terkait kasus dengue di Tanah Air, sehingga perlu pembenahan dalam pencatatan data untuk mengatasi dengue lebih menyeluruh," ujar Suir.
Wakil Menteri Kesehatan RI, Dante Saksono Harbuwono mengungkapkan masalah dengue bukan semata masalah kesehatan, tetapi juga sosial dan ekonomi.
Penyakit dengue di Indonesia, menurut Dante, menyebabkan kerugian hingga Rp3 triliun per tahun, karena hilangnya produktivitas masyarakat.
Menurut Dante, penanggulangan dengue harus dilihat dari aspek sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan untuk membangun upaya penanggulangan dengue secara bersama dan menyeluruh.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi IX DPR, Nihayatul Wafiroh mengungkapkan, pihaknya berkomitmen kuat mengangkat isu kesehatan, termasuk penanggulangan dengue di Tanah Air, menjadi isu penting nasional.
Penanggulangan dengue, tegas Nihayatul, harus didekati dengan perspektif yang lebih luas dan melibatkan semua pihak terkait.
"Sehingga forum-forum multi-pihak sangat penting untuk mewujudkan penanggulangan dengeu yang menyeluruh," tegasnya.
Plt. Dirjen Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, Murti Utami mengungkapkan untuk mewujudkan Zero Death Dengue pada 2030, pihaknya menargetkan penurunan kasus dengue di Tanah Air 25% per tahun.
Menurut Murti, pada dua tahun terakhir kasus dengue mengalami penurunan cukup signifikan, hampir 50%.
Demikian juga, tambah dia, angka kematian akibat dengue mengalami penurunan. Jika pada 2024 tercatat 1.292 kematian, per Oktober 2025 tercatat 541 angka kematian.
Murti mengungkapkan, langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan konsisten dilakukan untuk mewujudkan target global Zero Death Dengue pada 2030.
Catatan Kemenkes RI, tambah dia, kasus dengue tertinggi di Indonesia terjadi di Jawa Barat antara lain di Karawang, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kabupaten Bekasi, dan Jakarta Barat.
Diakui Murti, dalam pencatatan data dengue, pihaknya masih menghadapi kendala delay reporting, sehingga data yang dicatat belum sepenuhnya menunjukkan data terkini.
Ilustrasi nyamuk DBD. Medcom.id
Meski pihak Kemenkes RI mengungkapkan terjadi penurunan kasus dengue, tetapi catatan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan, BPJS Kesehatan, Lily Kresnowati, menunjukkan data dua tahun terakhir terjadi peningkatan klaim akibat dengue yang harus dibayarkan.
Pada 2023, tambah Lily, tercatat 624.000 klaim, pada 2024 tercatat 1,5 juta klaim, dan per Agustus 2025 sudah tercatat 744.000 klaim akibat dengue.
Lily menegaskan, pihaknya konsisten mendukung penanggulangan dengue dengan menjamin pengobatan anggotanya yang terdampak dengue.
Program Officer of Epidemiologist, WHO Emergency Unit, Endang Widuri Wulandari menyarankan, dalam upaya mencegah peningkatan kasus dengue dalam bentuk pemberantasan sarang nyamuk agar melibatkan seluruh lapisan masyarakat.
Inisiatif masyarakat penting ditingkatkan, tambah Endang, agar ikut melakukan upaya eliminasi sarang nyamuk di lingkungan mereka masing-masing.
Pengendalian vektor yang terintegrasi, jelas Endang, akan berdampak terhadap pengendalian pada penyakit lainnya.
Menurut Endang, pada upaya pengendalian dengue tidak hanya bertumpu pada data klinis manusianya, tetapi data terkait lingkungan, serta vektornya.
Selain itu, tambah dia, surveillance dengan melibatkan masyarakat penting untuk dilakukan. Data yang terkumpul dari berbagai sumber itu, ujar Endang, dapat dipakai sebagai dasar melakukan mitigasi.
Dengan data dan analisis yang akurat, jelas Endang, diharapkan mampu menghasilkan kebijakan yang tepat.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur, Jaya Mualimin mengungkapkan, Provinsi Kalimantan Timur memiliki wilayah yang cukup luas, lebih dari 127 ribu Km2.
Wilayah seluas itu, jelas Jaya, dengan curah hujan yang cukup tinggi memungkinkan sebaran kasus dengue yang cukup tinggi.
Menyikapi kondisi tersebut, Jaya mengungkapkan, pihaknya menerapkan Sistem Kewaspadaan Dini dan Responsif (SKDR) terkait dengue.
"Kami waspada satu tahun penuh, 52 minggu. Setiap minggu kami melaporkan sebaran kasus dengue yang terjadi di setiap wilayah," ujarnya.
Laporan tersebut, tambah Jaya, segera ditindaklanjuti oleh fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada.
Menanggapi kondisi tersebut, anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani, berpendapat dengan dahsyatnya dampak kematian akibat dengue, pemerintah tidak boleh abai dalam menghadapi ancaman tersebut.
Diakui Irma, saat ini belum ada solusi yang menyeluruh bagi masyarakat dalam menghadapi dengue.
Saat ini, jelas Irma, sejatinya sudah ada Germas dalam penanggulangan dengue, tetapi gerakan itu belum cukup luas.
"Jika pemerintah terlambat merespons, beban yang ditanggung negara dan masyarakat akan semakin besar," tegas Irma.
Ketua Komite Imunisasi Nasional, Prof. Sri Rezeki Hadinegoro, berpendapat pemanfaatan vaksin dalam penanggulangan dengue harus dipertimbangkan secara matang dari sisi prioritas dan keamanan dalam pengaplikasiannya kelak.
Diakuinya, saat ini sedang dikaji opsi pengendalian dengue dengan pengaplikasian vaksin.
Selain itu, Sri juga mendorong pengendalian vektor berbasis komunitas, sebagai bagian upaya penanggulangan dengue di tanah air.
Sementara itu, anggota IDAI, Hartono Gunardi mengapresiasi hadirnya KOBAR Lawan Dengue, karena sebagian besar yang terinveksi virus dengue adalah anak-anak.
"(Sebanyak) 60% yang terkena dengue itu anak usia di bawah 14 tahun," ujarnya.
Sekjen Adinkes, Widyastuti, berpendapat upaya mengontrol vektor, imunisasi, dan komunikasi yang baik merupakan langkah yang harus dilakukan dalam penanggulangan dengue.