PM Bayrou Terancam Lengser, Prancis Hadapi Krisis Politik Baru

Perdana Menteri Prancis François Bayrou. Foto: EFE-EPA

PM Bayrou Terancam Lengser, Prancis Hadapi Krisis Politik Baru

Muhammad Reyhansyah • 8 September 2025 19:05

Paris: Parlemen Prancis diperkirakan akan menyingkirkan Perdana Menteri François Bayrou pada Senin, 8 September 2025 setelah hanya sembilan bulan menjabat. Kondisi ini mendorong salah satu negara kunci Uni Eropa ke dalam ketidakpastian politik baru sekaligus menciptakan dilema besar bagi Presiden Emmanuel Macron.

Bayrou secara mengejutkan mengajukan mosi percaya demi mengakhiri kebuntuan panjang terkait rancangan anggaran penghematan, yang menargetkan pemangkasan hampir 44 miliar euro atau sekitar Rp848 triliun untuk menekan utang nasional.

Namun, hampir semua partai oposisi telah memastikan akan menolak pemerintah minoritas Bayrou. Dengan demikian, kecil kemungkinan ia mendapat dukungan mayoritas dari 577 anggota Majelis Nasional.

Jika tumbang, Bayrou akan menjadi perdana menteri kedua berturut-turut yang gagal bertahan setelah Michel Barnier dilengserkan Desember lalu hanya tiga bulan menjabat. Bayrou sendiri, perdana menteri keenam di bawah Macron sejak 2017, telah menyiratkan pesimisme.

“Apakah negara kita memahami keseriusan situasi yang dihadapinya?” ujar Bayrou dalam wawancara televisi yang dikutip Hurriyet Daily News, Senin, 8 September 2025.

Apabila Bayrou kehilangan jabatan, Macron harus menentukan langkah selanjutnya: menunjuk perdana menteri ketujuh pada masa kepemimpinannya atau menggelar pemilu cepat demi mendapatkan parlemen yang lebih kooperatif.

Macron tengah berusaha meningkatkan profil internasionalnya melalui upaya menghentikan perang Rusia di Ukraina. Namun di dalam negeri, popularitasnya merosot tajam. Survei Odoxa-Backbone untuk harian Le Figaro menunjukkan 64 persen warga menginginkan ia mengundurkan diri alih-alih menunjuk perdana menteri baru, meskipun ia telah menolak opsi itu.

Sementara itu, jajak pendapat Ifop untuk Ouest-France mencatat 77 persen masyarakat tidak puas dengan kinerjanya, angka terburuk sepanjang masa pemerintahannya. Menanggapi krisis, Macron menyerukan tanggung jawab dan stabilitas.

“Dunia yang tengah berubah memengaruhi banyak hal bagi Eropa. Dalam konteks ini, Prancis harus tetap maju,” ujar Bayrou usai mengikuti konferensi internasional tentang Ukraina.

Selain turbulensi politik, Prancis juga menghadapi tekanan sosial. Kelompok kiri radikal “Block Everything” menyerukan aksi massa pada 10 September, sementara serikat pekerja merencanakan pemogokan nasional pada 18 September.

Di sisi politik, belum ada jaminan pemilu akan memperbaiki posisi blok tengah-kanan Macron di parlemen. Namun ada sinyal ia mempertimbangkan kerja sama dengan Partai Sosialis (PS), partai yang pernah dominan tetapi kini meredup.

Dalam pertemuan Selasa lalu, Macron disebut mendorong sekutunya agar “bekerja dengan Partai Sosialis.” Pemimpin PS, Olivier Faure, bahkan secara terbuka menyatakan kesediaan menjadi perdana menteri dan telah menyiapkan rancangan anggaran sendiri. Meski begitu, dukungan dari PS belum tentu menarik simpati faksi kiri lainnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Fajar Nugraha)