DI tengah arus perdebatan politik nasional yang sering kali mengeras dan terjebak dalam dikotomi kawan-lawan, langkah Presiden Prabowo Subianto dalam memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Tom Lembong patut diapresiasi sebagai strategi kenegaraan yang bijak dan progresif.
Langkah tersebut bisa dilihat sebagai strategi politik untuk merajut kembali konsolidasi nasional. Keputusan itu menunjukkan bahwa pemerintahan Prabowo mengedepankan nilai-nilai rekonsiliasi, kebersamaan, dan perbaikan hubungan antarkelompok kekuasaan demi stabilitas nasional yang lebih luas.
Dalam proses hukum yang dijalani Tom Lembong dan Hasto, tidak sedikit publik menilai nuansa kriminalisasi kental dialami oleh keduanya. Hasto dikaitkan dengan sikap kritisnya saat masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Begitu pun Tom Lembong, yang banyak dikaitkan dengan sikap politiknya saat mendukung calon presiden Anies Baswedan. Bahkan, dalam pleidoinya, Tom menyebut dukungannya pada pasangan Anies-Muhaimin menjadi pemicu langkah hukum yang dialamatkan kepadanya.
Amnesti dan abolisi ialah dua instrumen hukum yang telah diatur dalam konstitusi, yang dapat digunakan presiden dalam situasi-situasi tertentu demi kepentingan yang lebih besar.
Presiden Prabowo menggunakan kewenangan tersebut bukan untuk melindungi kepentingan individu atau golongan, melainkan untuk membangun jembatan di antara kelompok politik yang sempat berseberangan secara tajam pada masa pemilu lalu, sebuah langkah kenegarawanan yang berani.
Tentu keputusan itu bukan tanpa risiko dan tantangan. Dalam masyarakat yang mulai menuntut transparansi dan keadilan substantif, kebijakan semacam itu dapat disalahartikan sebagai bentuk impunitas atau kompromi terhadap nilai-nilai integritas.
Kedua langkah politik itu, meski secara yuridis berada dalam koridor kewenangan konstitusional presiden, dapat menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen negara dalam menegakkan prinsip keadilan dan pemberantasan korupsi.
Kebijakan itu berpotensi menciptakan preseden dalam pemberantasan korupsi. Bahkan, tidak sedikit yang menilai bahwa amnesti terhadap Hasto sebagai bentuk barter politik yang menguntungkan kedua belah pihak.
Persoalan yang lebih mendasar lagi, yakni kekhawatian bahwa penghapusan proses hukum sebelum adanya putusan inkrah hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan publik terhadap proses hukum yang adil dan setara.
Dalam negara hukum yang demokratis, prinsip kesetaraan di hadapan hukum merupakan pilar utama. Ketika prinsip tersebut tergantikan oleh kalkulasi politik, legitimasi hukum itu sendiri menjadi lemah. Hukum tidak lagi tegak lurus dengan keadilan, justru mudah dibelokkan dan dibengkokkan sebagai instrumen kompromi kekuasaan.
Kasus Hasto dan Lembong hendaknya menjadi pengingat bahwa bangsa ini masih memiliki pekerjaan besar dalam memisahkan kekuasaan dari hasrat untuk saling melindungi di atas hukum.
Jangan sampai hukum selalu tunduk pada kepentingan politik yang akhirnya akan membuat demokrasi kehilangan arah dan rakyat kehilangan harapan akan keadilan. Bagaimanapun, kita hormati pemberian abolisi dan amnesti itu. Tentu saja tanpa mengurangi koreksi-koreksi atas kesalahan yang terjadi.