Bashar al-Assad saat bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin di Sochi pada 2017. Foto: Anadolu
Moskow: Sembilan tahun lalu, Rusia memulai operasi militer besar-besaran di Suriah untuk menyelamatkan pemerintahan Presiden Bashar al-Assad dan memperkuat pengaruhnya di Timur Tengah.
Namun, jatuhnya rezim Assad baru-baru ini menjadi pukulan telak yang mengancam strategi Rusia di kawasan, termasuk keberlanjutan pangkalan militernya di Suriah. Kini, Rusia dihadapkan pada tantangan besar untuk mempertahankan aset strategisnya sambil mencari jalan keluar dalam situasi yang semakin tidak menentu.
Awal keterlibatan Rusia di Suriah
Hubungan Rusia dan Suriah dimulai sejak era Uni Soviet, yang memberikan akses ke pelabuhan laut dalam Tartus pada 1971. Namun, perhatian Moskow terhadap Suriah sempat memudar hingga pecahnya perang saudara pada 2011.
Melansir dari
Eurasia Review, Selasa 10 Desember 2024, pada 2015, Presiden Rusia Vladimir Putin mengirim ekspedisi militer besar untuk mendukung Assad, yang saat itu hampir kehilangan kekuasaan.
Dalam operasi ini, Rusia mengerahkan hingga 6.000 pasukan tempur dan dukungan, termasuk kelompok tentara bayaran Wagner, untuk membantu militer Suriah. Pangkalan udara Hmeimim dan pelabuhan Tartus menjadi tulang punggung operasi Rusia, memberikan Moskow pijakan strategis untuk melancarkan serangan udara dan mengirimkan logistik berat ke kawasan.
Jenderal Valery Gerasimov, Kepala Staf Umum Rusia, menyatakan pada 2017, "Situasi sangat sulit, baik dari segi moral maupun kelelahan. Operasi kami dimulai, dan setelah beberapa waktu, kami melihat keberhasilan pertama."
Pangkalan militer yang terancam
Tartus, yang sebelumnya menjadi simbol proyeksi kekuatan maritim Rusia di Timur Tengah, kini menghadapi ancaman serius. Pelabuhan ini memainkan peran vital dalam pengangkutan senjata dan peralatan ke Afrika Utara dan Timur Tengah.
Beberapa kapal Rusia dilaporkan meninggalkan Tartus setelah jatuhnya Damaskus, memicu spekulasi evakuasi. Namun, Kementerian Pertahanan Rusia menegaskan bahwa itu hanyalah latihan militer.
Fredrik Van Lokeren, pensiunan perwira angkatan laut Belgia, menulis, "Apa yang dimiliki Tartus adalah kemampuan untuk memproyeksikan kekuatan maritim dan pengaruh politik secara relatif tak tertandingi di Timur Tengah."
Operasi udara di Pangkalan Hmeimim
Pangkalan udara Hmeimim, yang berjarak 60 km dari Tartus, menjadi pusat operasi udara
Rusia di Suriah. Pesawat tempur seperti Su-24 dan Su-30 digunakan untuk melancarkan ribuan serangan udara sejak 2015. Dalam beberapa hari terakhir, citra satelit menunjukkan keberadaan pesawat kargo berat Ilyushin Il-76, mengindikasikan kemungkinan dimulainya evakuasi.
Namun, memindahkan seluruh peralatan berat melalui udara atau laut akan menjadi tantangan besar. Dara Massicot, pakar militer Rusia dari Carnegie Endowment for International Peace, menyatakan, "Rusia sulit menyembunyikan proses evakuasi besar-besaran ini."
Dampak jatuhnya rezim Assad
Kejatuhan Assad dianggap sebagai hasil dari kurangnya dukungan dari dua sekutu terkuatnya: Rusia dan Iran. Dengan perang Rusia di Ukraina yang masih berlangsung dan menelan korban lebih dari 600.000 jiwa, sumber daya militer Rusia untuk mendukung Suriah semakin terbatas.
Seorang blogger militer Rusia di Telegram menulis, "Keberadaan militer Rusia di Timur Tengah tergantung pada seutas benang."
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Moskow mungkin mencoba mencapai kesepakatan dengan pemimpin baru Suriah untuk mempertahankan akses ke Tartus dan Hmeimim. Namun, jika gagal, kemampuan Rusia untuk memproyeksikan kekuatan di kawasan Timur Tengah dan Afrika akan sangat terbatas.
Skenario terburuknya, Rusia harus memindahkan sebagian operasi militernya ke Libya atau wilayah lain, meski akan menghadapi tantangan logistik yang berat. Masa depan pengaruh Rusia di Timur Tengah kini sangat tidak pasti, dengan aset strategis yang berada di bawah ancaman langsung.
(Muhammad Reyhansyah)