Masalah Myanmar Berlarut-larut, Sulit Bagi ASEAN untuk Jatuhkan Sanksi

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Roy Soemirat. Foto: Metrotvnews.com

Masalah Myanmar Berlarut-larut, Sulit Bagi ASEAN untuk Jatuhkan Sanksi

Fajar Nugraha • 16 December 2024 15:41

Jakarta: ASEAN dalam keketuaan Malaysia akan melakukan pertemuan pada pertengahan Januari 2025. ASEAN Ministerial Meeting (AMM) akan diselenggarakan dengan Menteri Luar Negeri Sugiono dijadwalkan hadir.

AMM retreat itu akan menjadi platform, kesempatan, forum bagi ketua ASEAN dalam hal ini Malaysia untuk menyampaikan dan membentuk prioritas dan rencana kerjanya selama keketuaannya di tahun mendatang. Tentu Indonesia akan terus melakukan koordinasi dengan Ketua ASEAN dan juga dengan anggota lain untuk memastikan bahwa apa yang dilakukan di tahun mendatang itu dapat memberikan kontribusi yang menyeluruh bagi seluruh anggota ASEAN. 

Bagaimana dengan Myanmar? Apa kelanjutan dari krisis yang sampai saat ini masih berlarut-larut.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Roy Soemirat mengatakan, ada undangan dari Thailand dalam hal ini bekerjasama dengan ketua ASEAN tahun ini dengan Laos yang akan menyelenggarakan serangkaian kegiatan pada tingkat menteri luar negeri terkait dengan isu Myanmar. 

“Yang pertama akan dilakukan sebuah informal consultation yang melibatkan Troika ketua ASEAN pada tingkat menteri luar negeri, dalam hal ini Malaysia (sebagai Ketua 2025), Laos (Ketua tahun ini), dan Indonesia (Ketua ASEAN 2023),” ujar Roy di Kementerian Luar Negeri, Senin 16 Desember 2024.

Kemudian selain informal consultation atau konsultasi informal dari Troika tersebut akan ada extended informal consultation di mana pertemuan yang dalam format Troika tadi juga akan ditambah dengan beberapa negara ASEAN lainnya yang menyatakan untuk berminat hadir dan menyumbangkan pikirannya dalam kerangka ministerial Troika ini. 

“Saat ini sudah ada beberapa anggota ASEAN lain yang menyatakan ketertarikannya dan akan hadir pada pertemuan tersebut. Yang pasti untuk Indonesia sendiri meeting ini akan sangat penting untuk terus menyuarakan urgensi, menekankan pentingnya penyelesaian krisis Myanmar yang sudah berlangsung sekian lama,” tegas Roy.

“Kita akan terus menekankan pentingnya five point consenssus sebagai satu-satunya referensi utama dalam penyelesaian krisis Myanmar sebagaimana yang sudah disepakati oleh seluruh leaders ASEAN termasuk perwakilan dari militer Myanmar pada saat pertemuan April 2021,” imbuh Roy. 

Saat ini pada Keketuaan Laos di ASEAN tahun 2024 ada yang ditunjuk menjadi Special Envoy atau utusan khusus. Sosok yang ditunjuk itu adalah salah satu dari diplomat senior Laos, Alounkeo Kittikhoun yang juga dulu pernah menjadi SOM Leader dari ASEAN di masa lalu jadi bukan Menteri Luar Negeri dari Laos.

Adanya utusan khusus menunjukkan bahwa ada keinginan dari negara-negara ASEAN untuk terus secara kontinu meneruskan apa yang sudah dilakukan pendahulunya. “Untuk membantu Myanmar, harus dilakukan maraton bersama-sama dan dilakukan melalui sebuah roadmap yang jelas, utamanya Five Point Consenssus,” Roy menambahkan.

Jelasnya, pada KTT ASEAN di Laos beberapa bulan yang lalu dorongan kepada Myanmar, dorongan kepada seluruh stakeholder yang berkonflik di Myanmar untuk mengimplementasikan five point consensus adalah hal yang tidak bisa ditawar secara informal.

Kemungkinan sanksi?

Berlarut-larutnya masalah Myanmar telah menjadi duri dalam daging bagi ASEAN. Muncul pandangan apakah harus ada sanksi diarahkan kepada Myanmar.

“Sebagai anggota ASEAN terkait dengan sanksi, let's just say sanksi is not really in the DNA of negara-negara ASEAN (sanksi tidak ada dalam DNA negara-negara ASEAN),” tegas Roy.

“Untuk Indonesia sendiri kita selalu mendekankan bahwa Indonesia hanya mengimplementasikan dan mengakui sanksi yang diterapkan oleh Dewan Keamanan PBB sebagai satu-satunya entity di lembaga multilateral yang memiliki mandat untuk memberikan sanksi kepada anggotanya,” imbuh Roy.

“Jadi kita tidak bisa mengimplementasikan sanksi dari manapun dalam bentuk apapun apalagi kita di ASEAN sendiri tidak mengenal mekanisme sanksi itu,” tutur Roy, menambahkan.

Lebih lanjut Roy menambahkan, mengenai sanksi internasional, Indonesia hanya mengakui sanksi yang berlaku oleh PBB dalam hal ini DK PBB. Kedua, sanksi itu hanya dapat diterapkan sebagai last resort ketika semua vehicles, format lain sudah tidak dapat ditekankan lagi dialog, fasilitator, mediator, dan sebagainya jadi sanksi itu harus last resort atau pilihan terakhir.

Ketiga, sanksi juga yang pasti tidak boleh ditekankan, diimplementasikan secara membabi buta. “Penerapannya harus ditargetkan dengan baik, karena kita menghindari adanya pemberian sanksi yang justru akan memberikan beban hidup yang lebih berat kepada masyarakat tidak bersalah,” kata Roy.

Menurut Roy, sanksi internasional yang dikeluarkan PBB pada dasarnya harus kaji secara periodik dari waktu ke waktu. Indonesia  tidak menganggap bahwa sanksi DKPBB itu akan selamanya ada di sana, karena bagaimanapun mekanisme sanksi yang ditetapkan di dalam charter PBB itu kan sifatnya sementara, hanya untuk mengatasi masalah. Namun ketika masalah sudah selesai, makas sudah saatnya mekanisme sanksinya dikaji kembali dan again.

“Indonesia juga tidak pernah mengakui dan tidak dalam posisi untuk mengimplementasikan apalagi sanksi-sanksi yang bersifat unilateral yang diberikan oleh sebuah negara kepada negara lain,” pungkas Roy.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Fajar Nugraha)