Fajar Nugraha • 16 November 2024 04:00
Tokyo: Pemerintah Jepang menolak untuk menghapus hukuman mati, meskipun mendapat tekanan dari dalam negeri maupun internasional, termasuk desakan dari pakar hukum Jepang yang mengusulkan peninjauan ulang hukuman tersebut.
Penolakan ini memperlihatkan bahwa Jepang tetap kukuh mempertahankan kebijakan hukuman mati di tengah meningkatnya kritik global terhadap sistem peradilan pidana di negara tersebut.
"Pemerintah berpandangan bahwa tidaklah tepat untuk menghapus hukuman mati," kata Kepala Sekretaris Kabinet Yoshimasa Hayashi dalam konferensi pers di Tokyo, dikutip dari Anadolu, Jumat 15 November 2024.
"Hukuman mati dianggap tidak terhindarkan bagi seseorang yang telah melakukan kejahatan yang sangat serius dan keji," tambahnya.
Pernyataan tersebut muncul setelah sebuah panel beranggotakan 16 orang, termasuk mantan jaksa agung, mantan pejabat tinggi kepolisian, serta akademisi, mengajukan rekomendasi kepada Kabinet dan Parlemen Jepang untuk membentuk badan konferensi guna membahas apakah hukuman mati masih relevan untuk dipertahankan.
Dalam laporannya, panel tersebut menyoroti kasus Iwao Hakamata, seorang pria berusia 88 tahun yang menghabiskan hampir separuh hidupnya di sel terpidana mati sebelum akhirnya dibebaskan dalam sidang ulang atas kasus pembunuhan empat orang pada tahun 1966.
"Ketika terjadi kesalahan, diperlukan waktu yang sangat lama untuk memperbaikinya," sebut panel tersebut dalam laporannya.
Pembebasan Hakamata setelah hampir lima dekade di penjara menarik perhatian dunia terhadap sistem peradilan pidana Jepang dan semakin memperkuat seruan untuk menghapus hukuman mati di negara tersebut.
Sidang ulang sangat jarang terjadi di Jepang, di mana 99% kasus yang disidangkan berakhir dengan vonis bersalah. Tercatat, tidak ada eksekusi hukuman mati yang dilakukan dalam dua tahun terakhir di Jepang.
Saat ini, Jepang dan Amerika Serikat adalah satu-satunya negara di kelompok G7 yang masih memberlakukan hukuman mati. (Muhammad Reyhansyah)