Pertamina mendampingi Kader Posyandu untuk membangun instalasi hidroponik sekaligus pelatihan cara menanam sayur hidroponik. (Foto: Dok. Pertamina.)
Fauzan Hilal • 23 October 2025 23:06
Dumai: Di balik gubuk sederhana di Kelurahan Mundam, Dumai, terhampar rak-rak instalasi pipa putih yang tampak kontras dengan pepohonan pesisir. Bukan sekadar kebun, instalasi hidroponik ini adalah benteng baru. Benteng yang kini dibangun oleh ibu-ibu perkasa, melawan musuh tak kasat mata bernama stunting dan gizi buruk yang selama ini membayangi anak-anak mereka.
Senyum merekah di wajah Viola Oktaviani, Ketua Kelompok Wanita Mundam Berseri. Matanya berbinar saat ia menceritakan perjuangan di Mundam, sebuah wilayah yang dikelilingi kekayaan alam, namun ironisnya terkungkung oleh minimnya kesadaran gizi.
"Dulu, rasanya hati ini ciut," kenang Viola. "Kami, para kader posyandu, harus berhadapan dengan data. Ada balita stunting, ada 18 bayi dengan BGM (bawah garis merah), dan ibu hamil yang kekurangan energi. Kami tahu anak-anak butuh gizi, tapi kami tidak punya alat dan keterampilan untuk menyediakannya secara berkelanjutan."
Pada tahun 2024 titik balik itu datang. Melalui program TJSL (tanggung jawab sosial lingkungan) Serumpun Paman Bahari dari PT Kilang Pertamina Internasional Refinery Unit II (KPI RU II) Dumai, kelompok wanita ini tidak hanya mendapat bantuan finansial, tetapi juga harapan.
Pertamina tidak sekadar memberi, tetapi mendampingi. Mereka membangun instalasi hidroponik dan melatih ibu-ibu, yang notabene adalah istri para nelayan, untuk menanam sayuran tanpa tanah, terutama pakcoy. Ini adalah solusi cerdas di lahan pesisir yang terbatas.
"Awalnya kami bingung, bagaimana sayur bisa tumbuh tanpa tanah?" Viola tertawa kecil. "Tapi kini kami bisa. Dan yang paling ajaib, hasil panennya bisa kami ubah menjadi makanan yang disukai anak-anak."
Puding Pakcoy, Kekuatan Baru di Posyandu
Pakcoy segar yang tadinya hanya dilihat sebagai sayur biasa, kini bertransformasi menjadi puding lembut, jus hijau menyegarkan, hingga dodol yang manis. Panganan ini dikemas cantik, jauh dari kesan makanan wajib yang membosankan.
"Anak-anak kini berebut. Mereka tidak tahu itu pakcoy, mereka hanya tahu itu enak dan menarik. Padahal, itu adalah makanan bergizi yang kami buat sendiri," ujar seorang anggota kelompok dengan bangga.
Menu-menu inilah yang kini menjadi makanan tambahan wajib di Posyandu, senjata ampuh yang disukai anak-anak Mundam untuk mengusir bayang-bayang stunting. Dampaknya merambat hingga ke dapur rumah tangga, meningkatkan keterampilan gizi ibu dan pada akhirnya, melindungi keluarga dari dalam.
"Wilayah kami pesisir, dan kami memberdayakan keluarga nelayan. Kami percaya, jika ibu sehat dan berdaya, keluarga akan terlindungi. Ini bukan hanya soal lingkungan, tapi soal keberlangsungan hidup anak bangsa," kata Area Manager Communication Relations & CSR KPI RU II Dumai, Agustiawan.
Kisah ini tidak berhenti di Posyandu. Sebagian kecil hasil panen dan olahan dijual, memberikan tambahan penghasilan bagi para ibu. Tanpa disadari, mereka tidak hanya menjadi penjaga gizi keluarga, tetapi juga motor penggerak ekonomi di Mundam.
"Kami berterima kasih pada Pertamina. Ini adalah asupan semangat. Anak-anak mendapat asupan merata, ekonomi masyarakat terbantu. Sebuah bukti nyata bahwa kolaborasi bisa menciptakan kehidupan yang lebih baik," kata Lurah Mundam, Adi Aprianto.
Di bawah naungan komitmen Pertamina untuk SDGs dan ESG, kisah ibu-ibu Mundam Berseri menjadi pembuktian, energi terbesar perusahaan bukan terletak pada sumur minyaknya, tetapi pada dedikasinya untuk menjadi pilar penopang : Program TJSL yang dirancang dari hati, mampu menghasilkan lebih dari sekadar data statistik. Ia melahirkan optimisme, gizi yang lebih baik, dan senyum anak-anak yang kini tumbuh lebih sehat dan ceria.