Ilustrasi kereta cepat. Foto: Dok. KAI.
Anggi Tondi Martaon • 1 November 2025 00:47
Jakarta: Pemerintah memastikan rencana perpanjangan tenor utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) hingga 50–60 tahun. Pemerintah didorong menggunakan skema REIT dalam pelunasan beban tersebut.
“Utang sebesar itu tidak bisa terus ditanggung negara maupun BUMN. Dibutuhkan instrumen pasar modal yang sehat seperti REIT untuk membagi risiko dengan investor,” kata Ketua Bidang Infrastruktur dan Properti PLPI, John Riyanto, melalui keterangan tertulis, Sabtu, 1 November 2025.
John menjelaskan, pengembalian investasi tidak bisa dihitung hanya dari operasional harian. Dia mencontohkan pembangunan Gelora Bung Karno (GBK) pada era 1960-an yang menelan biaya sekitar USD12,5 juta saat itu.
“Kalau dihitung pakai BEP dengan cicilan utang, jelas tidak akan ketemu. Infrastruktur seperti GBK maupun kereta cepat harus dihitung dengan depresiasi panjang, bahkan sampai 100 tahun, supaya manfaatnya terasa lintas generasi,” ungkap John.
Ia, menambahkan
kereta cepat atau properti sejenis bisa dipakai hingga satu abad lamanya. Dengan skema depresiasi 50 tahun, beban proyek bisa dihitung.
Contoh, Rp160 triliun dibagi 50 tahun akan menghasilkan Rp3,2 triliun per tahun. Lalu ditambah biaya operasional, listrik, tenaga kerja, serta cicilan bunga.
“Kalau ditanggung sendiri oleh KAI tentu mustahil, tapi ingat ada kenaikan nilai aset dan ekuitas di masa depan yang membuatnya tetap menguntungkan,” tegas John.
Ilustrasi kereta cepat Whoosh. Foto: Humas Whoosh.
Menurut John, bisnis properti pada dasarnya tidak likuid. Tetapi keuntungan bisa muncul saat aset dijual kembali.
“Caranya ada satu, setiap properti di Indonesia, baik kereta, gedung, maupun infrastruktur lain, harus bisa dijual kembali saat nilainya naik untuk menciptakan
capital recycle. Dan agar
capital recycle bisa terjadi, harus ada instrumen yang dapat dijual secara eceran ke publik, yaitu REIT,” sebut dia.
Sejalan dengan itu, akademisi Abdullah Syarifuddin menegaskan pentingnya modernisasi regulasi. Sehingga, REIT di Indonesia mampu menarik dana pensiun, asuransi, hingga
sovereign fund.
Tanpa reformasi regulasi, REIT sulit berkembang menjadi instrumen andalan pembiayaan infrastruktur.
Dia meyakini proyek kereta cepat bukan hanya terbebas dari jeratan utang dengan penerapan skema Infra-REIT. Justru, menjadi pionir pembiayaan infrastruktur berbasis pasar yang sehat, meniru kesuksesan Shinkansen di Jepang.