Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol. Foto: Yonhap
Seoul: Pendeta kontroversial Korea Selatan, Jun Kwang-hoon, berjanji akan memimpin gerakan perlawanan besar-besaran jika Mahkamah Konstitusi mengesahkan pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol. Jun, yang dikenal sebagai pendukung setia Yoon, menyebut deklarasi darurat militer yang diumumkan Presiden pada 3 Desember lalu sebagai "karunia dari Tuhan."
Janji tersebut disampaikan Jun di hadapan ratusan pengikutnya dalam aksi di luar kediaman Yoon pada 9 Maret.
“Jika Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk memakzulkan beliau, kami akan mengerahkan hak rakyat untuk melawan dan menyapu mereka dengan sekali tebasan,” tegas Jun dalam pidatonya, seperti dilansir The Straits Times, Rabu 12 Maret 2025.
Ancaman kekerasan membayangi putusan mahkamah
Kekhawatiran akan potensi kekerasan meningkat menjelang keputusan Mahkamah Konstitusi yang dijadwalkan akhir Maret ini. Pihak kepolisian telah mendapatkan izin khusus untuk menggunakan semprotan merica dan tongkat teleskopik guna mengendalikan aksi massa jika terjadi kericuhan.
Jun, yang selama ini dianggap sebagai tokoh pinggiran di politik sayap kanan Korea Selatan, kini semakin menonjol sebagai pembela utama Presiden Yoon di tengah skandal darurat militer.
“Presiden Yoon memulai pembersihan dengan deklarasi darurat militer. Rakyat dan saya akan menyelesaikannya bersama,” ujar Jun dalam orasinya.
Jun juga menuduh Korea Utara berada di balik oposisi demokratis di Korea Selatan dan menyebarkan klaim tak berdasar terkait kecurangan pemilu. Klaim ini sejalan dengan argumen Yoon dan tim hukumnya yang membenarkan keputusan menerapkan darurat militer.
Pendeta tersebut kini tengah diselidiki oleh pihak kepolisian atas keterlibatannya dalam aksi penyerbuan gedung pengadilan pada Januari lalu, di mana dua pengikutnya ditangkap di lokasi kejadian.
Menarik dukungan dari kelompok sayap kanan
Menurut para ahli, Jun berhasil memanfaatkan sentimen kelompok sayap kanan yang sebelumnya terpinggirkan di Korea Selatan. Basis pendukungnya sebagian besar berasal dari kalangan lanjut usia yang masih memegang kuat ideologi anti-komunisme sejak era Perang Dingin.
“Jun menemukan pengikutnya di kalangan lansia yang tersingkir dari arus utama teologi konservatif,” jelas Kim Jin-ho, seorang teolog dan analis politik.
Ia menambahkan, gaya provokatif Jun menyerupai pendekatan yang digunakan oleh para teoris konspirasi di dunia maya.
Selain lansia, gerakan Jun juga menarik dukungan dari kelompok muda yang didominasi laki-laki dan aktif di komunitas daring yang cenderung sinis terhadap politik.
“Pendeta Jun berbicara mewakili rakyat,” kata Park Jun-seo, seorang pria berusia 37 tahun di tengah aksi pro-Yoon pada 8 Maret.
Sementara itu, seorang pengikut lainnya, Seo Hui-won, menyebut Jun sebagai sosok yang “berjuang di garis depan melawan komunisme.”
Jika pemakzulan Presiden Yoon disetujui, Korea Selatan akan menggelar pemilu dalam waktu 60 hari. Dengan kemungkinan ini, sejumlah politisi konservatif mulai merapat ke kubu Jun demi memperoleh dukungan dari basis massanya.
Beberapa tokoh utama dari Partai Kekuatan Rakyat (PPP) yaitu partai pendukung Yoon terlihat hadir di panggung aksi-aksi Jun sebelumnya. Menurut Jeon Sang-jin, profesor sosiologi di Universitas Sogang, afiliasi ini memberi keuntungan politik.
“Kedekatan dengan Jun memungkinkan mereka mendapatkan basis pemilih loyal,” jelas Jeon.
Namun, ia memperingatkan bahwa teori konspirasi yang sebelumnya berada di pinggiran kini mendapat legitimasi dari Yoon, PPP, dan media sayap kanan.
Risiko destabilisasi politik Korea Selatan
Jika Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk memakzulkan Yoon, ia akan menjadi presiden Korea Selatan kedua yang dimakzulkan secara resmi setelah Park Geun-hye pada 2017. Saat itu, keputusan pemakzulan memicu kerusuhan besar yang menyebabkan beberapa korban jiwa.
Pihak berwenang kini bersiap menghadapi potensi kekerasan serupa. Kepolisian berjanji mengerahkan seluruh sumber daya untuk mencegah kejadian berulang ketika putusan Mahkamah diumumkan.
Di sisi lain, para ahli memperingatkan bahwa Yoon tampaknya berupaya memanfaatkan dukungan dari kelompok garis keras untuk mempertahankan pengaruh politiknya, meskipun pemakzulannya disahkan.
"Presiden Yoon tidak memiliki pilihan selain mengorbankan dirinya dan mengumumkan darurat militer untuk membersihkan 'hama' di eksekutif, legislatif, dan yudikatif," kata pengacara Seok Dong-hyun dalam aksi unjuk rasa yang digelar Jun.
Lim Ji-bong, profesor hukum konstitusi di Universitas Sogang, menilai retorika ini berpotensi memicu kekacauan lebih besar.
“Pesan semacam ini dapat mendorong para pendukungnya menolak putusan Mahkamah Konstitusi dan mengulangi insiden kekerasan seperti serbuan di gedung pengadilan bulan lalu,” ujar Lim.
Menurutnya, tindakan tersebut tidak hanya merusak sistem peradilan, tetapi juga mengguncang fondasi politik Korea Selatan secara keseluruhan.
(Muhammad Reyhansyah)