Teuku Umar, salah satu pahlawan nasional dari Aceh. Foto: Istimewa
Fajri Fatmawati • 10 November 2025 19:28
Banda Aceh: Teuku Umar Pahlawan Nasional legendaris dari Aceh, gugur dalam penyergapan pasukan Belanda di Meulaboh pada 11 Februari 1899. Namun, perjalanan heroiknya melawan penjajah lebih dari sekadar pertempuran. Ia dikenang karena taktik penyerahan diri palsu yang brilian untuk mengelabui Belanda dan memperkuat pasukannya.
Lahir di Meulaboh pada 1854, Teuku Umar sejak kecil menunjukkan sifat pemberani dan pantang menyerah. Ia terlibat dalam Perang Aceh sejak usia 19 tahun. Kepemimpinannya yang cerdas membuatnya diangkat menjadi kepala desa (keuchik gampong) di daerahnya. Jabatan ini menjadi bekal awal bagi kepemimpinan militernya.
Pada 1883, Teuku Umar memulai strategi berani dengan berpura-pura menyerah dan bergabung dengan militer Belanda. Tujuannya, mendapatkan senjata, pelatihan, dan kepercayaan musuh. Taktik ini berhasil. Ia diberi wewenang dan pasukan, yang justru digunakannya untuk menyerang pos-pos Belanda dari dalam.
Kepercayaan Belanda padanya diuji dalam Insiden Kapal Nicero pada 1884. Teuku Umar ditugaskan membebaskan kapal Inggris yang disandera. Dengan dalih membutuhkan logistik dan senjata yang banyak, ia berangkat dengan perbekalan lengkap dari Belanda.
"Strategi Teuku Umar dalam Insiden Nicero menunjukkan kecerdikannya. Ia memanfaatkan kepercayaan Belanda untuk memperkuat posisi pejuang Aceh," jelas Dr Faisal, sejarawan Universitas Syiah Kuala, Senin, 10 November 2025.
Di tengah laut, Teuku Umar justru membunuh tentara Belanda yang bersamanya. Ia merampas semua senjata dan perlengkapan, lalu kembali bergabung dengan para pejuang Aceh.
Pada 1893, dalam langkah yang kembali mengejutkan, Teuku Umar menyerahkan diri untuk kedua kalinya. Kali ini, sandiwaranya lebih rumit. Ia dan pasukannya disambut Belanda, bahkan dianugerahi gelar Teuku Johan Pahlawan dan diberi wewenang lebih besar. Selama tiga tahun, ia berpura-pura setia. Diam-diam, ia mengumpulkan informasi dan mengalirkan dana serta senjata untuk para pejuang Aceh.
Kepercayaan yang diberikan Belanda akhirnya berbalik menjadi bumerang. Pada 30 Maret 1896, Teuku Umar kabur dengan membawa 800 pucuk senjata, 25.000 peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dolar.
Tindakan ini membuat Belanda murka dan malu. Teuku Umar kemudian memimpin perlawanan rakyat Aceh secara lebih terpusat dan terorganisir, bersama istrinya, Cut Nyak Dhien.

Teuku Umar, salah satu pahlawan nasional dari Aceh. Foto: Istimewa
Kegigihan Teuku Umar berakhir pada 11 Februari 1899. Pasukannya dicegat dan disergap tentara Belanda di Meulaboh. Dalam pertempuran tidak seimbang, Teuku Umar gugur tertembak di dadanya.
Meski jasadnya dimakamkan oleh Belanda, semangatnya tidak pernah padam. Kepemimpinan perjuangan diteruskan oleh Cut Nyak Dhien, yang melanjutkan perlawanan tanpa kenal lelah.
Pemerintah Indonesia menganugerahi Teuku Umar gelar Pahlawan Nasional. Namanya diabadikan di berbagai tempat, seperti nama jalan, Universitas Teuku Umar di Meulaboh, dan kapal perang TNI AL KRI Teuku Umar (385).
"Warisan terbesar Teuku Umar bukan hanya kemenangan fisik, tapi strategi kecerdasan yang mengajarkan kita untuk tidak pernah menyerah dengan cara apa pun," pungkas Dr Faisal.