Pemerintah Perlu Peta Jalan Pertahankan Industri Tekstil

Diskusi di Indo Intertex 2025. Foto: Istimewa.

Pemerintah Perlu Peta Jalan Pertahankan Industri Tekstil

Husen Miftahudin • 17 April 2025 23:01

Jakarta: Industri tekstil dalam negeri kini tengah berada dalam permasalahan serius. Tak sedikit pabrik bertumbangan karena tak kuat mempertahankan produksinya di tengah serbuan impor tekstil dari berbagai negara, khususnya Tiongkok.

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan, saat ini berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sering kali bukan karena kebutuhan sebagai bangsa, tapi sekadar kebijakan populis. Alhasil, kebijakan yang ada bukan berdasarkan rencana jangka panjang demi kesejahteraan masyarakat.

Itu juga yang sekarang terasa di industri tekstil, di mana dalam beberapa tahun terakhir sejumlah kebijakan tak memberi dampak positif pada sektor ini. Itu terlihat dari ambruknya industri tekstil yang kemudian mengharuskan pabrik kecil hingga besar gulung tikar.

"Sekarang ini banyak masterplan yang tidak jelas. Misalkan ada Peraturan Pemerintah (PP) kemudian turun jadi peraturan menteri (permen) atau lainnya, tapi ga ada yang tahu karena belum tentu dijalankan dengan benar," kata Agus dalam diskusi 'The Trump Effect and The Future of Indonesian Textile: Geopolitics, Human Resources, Export Opportunities, and The Challenge of Illegal Imports' di Indo Intertex 2025, dikutip dari keterangan tertulis, Kamis, 17 April 2025.

Menurut Agus, sejumlah industri termasuk tekstil di Indonesia sekarang sedang tertekan karena tidak ada upaya pasti dari pemerintah agar sektor tersebut mampu bertahan atau tumbuh di tengah persaingan global. Alhasil sejumlah negara yang dulu kalah oleh Indonesia sekarang jadi pesaing ketat. 

Hal yang harus dilakukan pemerintah sekarang adalah membuat peta jalan lebih jelas untuk keberlangsung industri tekstil, sehingga pabrik yang ada saat ini bisa bersaing dengan industri dari luar negeri. Jangan sampai keabaian pemerintah semakin membuat industri tekstil perlahan makin sedikit jumlahnya dari dalam negeri.
 

Baca juga: Kebijakan Tarif Impor Trump Berpotensi Berdampak ke Industri Tekstil di Indonesia
 

Ubah haluan pasar ekspor ke Eropa


Sementara itu, Akademisi Tekstil dari Politeknik STTT Bandung Gunawan mengatakan, adanya kebijakan Presiden AS Donald Trump yang memberlakukan kenaikan tarif impor dari sejumlah negara termasuk Indonesia jelas akan memberikan dampak pada industri tekstil. Apalagi AS selama ini menjadi salah satu negara dengan pengiriman produk tekstil terbesar dari dalam negeri.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per 2023, nilai ekspor pakaian jadi mencapai Rp10,34 triliun. Dari nilai tersebut AS menempati negara terbesar dengan porsi mencapai 54 persen. Kenaikan tarif impor pun diprediksi akan memengaruhi jumlah ekspor produk tekstil dan produk tekstil (TPT) ke Negeri Paman Sam tersebut.

Dengan kondisi ini, maka harus ada strategi yang dilakukan agar Indonesia bisa mencari pasar ekspor lain khususnya kawasan Eropa. Dengan tidak adanya perang tarif dari kawasan tersebut, hal ini menjadi peluang yang harus bisa dimaksimalkan.

Di sisi lain, agar produk Indonesia bisa bersaing, ada sejumlah catatan yang harus bisa diselesaikan bersama. Misalnya, persoalan struktur biaya (cost structure) terbesar untuk industri rayon, poliester, dan nilon kurang lebih bahan baku 40-50 persen dan energi gas 20-30 persen. 

"Bahan baku dan energi gas alam tertentu menjadi krusial pada semua industri serat tersebut dan sangat menentukan harga jual akhir," papar Gunawan.

Kemudian, pemerintah juga harus membantu industri dalam peremajaan mesin. Sebab peremajaan atau restrukturisasi mesin sangat berkaitan dengan produktivitas, efisiensi, kualitas, konsumsi energi, teknologi proses, inovasi produk, pengurangan biaya produksi, dan teknologi industri 4.0.

Gunawan menilai industri TPT Indonesia pada dasarnya telah mampu membuat berbagai jenis produk tekstil namun demikian ada beberapa kain khusus yang tidak dapat dibuat misalnya protective fabric yaitu kain yang berfungsi untuk melindungi dari zat kimia berbahaya, panas, radiasi, dan lainnya, tinggal bagaimana intervensi teknologi, riset, mesin, dan SDM perlu dikembangkan lagi.

"Sedangkan pada industri hilir sangat berkaitan kaitan dengan penyerapan tenaga kerja dan mudah berpindah dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Isu upah menjadi salah satu topik yang penting dan sensitif untuk diperhatikan pada titik ini dibutuhkan keseimbangan antara kepetingan tenaga kerja dan perusahaan," ungkap dia.


(Ilustrasi industri tekstil. Foto: dok Istimewa)
 

Blue print perindustrian Indonesia 'abu-abu'


Dalam diskusi ini, pengamat politik-ekonomi Ichsanuddin Noorsy juga menyoroti blue print sektor perindustrian Indonesia karena tidak ada yang bisa menjelaskan secara rinci akan seperti apa.

Dengan adanya gejolak ekonomi secara global, seharusnya Indonesia bisa tahu akan melakukan apa sehingga industri dalam negeri tetap bisa bersaing dengan banyak negara yang punya produk serupa termasuk di bidang tekstil.

Dengan adanya perang dagang sekarang, menurut dia, pemerintah harus mencari apa yang menjadi kehebatan Indonesia. Ini penting sehingga terdapat nilai jual yang bisa menjadi daya tarik produk dalam negeri, tapi belum tentu dimiliki negara lain. 

Dia pun menyoroti pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang dianggap tumpang tindih. Kepala Negara menyatakan Indonesia harus menjadi negara kuat dan mandiri, tapi justru siap membuka keran impor besar-besaran hingga menghilangkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).

"Jangan sampai kebijakan kita ini didikte oleh negara lain, ditekan agar tidak tumbuh. Maka perencanaan dan inovasi ini harus diperbaiki sehingga kebijakan itu yang memang bisa memecahkan masalah kebutuhan nasional," tegas Ichsanuddin.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Husen Miftahudin)