Media Indonesia • 6 September 2025 06:18
SITUASI sosial-politik yang sempat memanas beberapa waktu lalu, kini perlahan mulai mendingin. Aksi demonstrasi besar-besaran yang berlangsung pekan lalu itu menyuarakan berbagai tuntutan konkret yang terangkum dalam agenda 17+8. Sebanyak 17 tuntutan jangka pendek yang bersifat teknis dan darurat diberikan tenggat pada 5 September 2025. Adapun delapan tuntutan jangka panjang, yakni perubahan struktural, diharapkan bisa dipenuhi oleh pemerintah dan DPR dalam rentang waktu setahun kemudian.
Tuntutan itu tidak datang dari ruang kosong. Ia merupakan representasi dari keresahan rakyat atas berbagai kebijakan dan persoalan yang dianggap telah mengabaikan suara publik.
Namun, di tengah meredanya gelombang aksi, muncul kekhawatiran bahwa pemerintah dan para pengambil kebijakan justru akan kembali bersikap pasif, menunda-nunda pelaksanaan sejumlah tuntutan yang sebenarnya bisa segera dieksekusi. Jika begitu adanya, jelas itu adalah sebuah kesalahan strategis dan moral yang berpotensi memanaskan kembali situasi yang mulai stabil.
Beberapa dari tuntutan dalam agenda 17+8 sebenarnya sangat teknis dan dapat segera direalisasikan tanpa perlu menunggu perubahan struktural besar. Misalnya, pencabutan regulasi-regulasi kontroversial, evaluasi kembali proyek-proyek yang dinilai merugikan masyarakat. Termasuk, tuntutan penegakan hukum atas kesewenang-wenangan aparat dalam pengamanan demonstrasi, mulai dari membebaskan seluruh demonstran yang ditahan hingga pemberhentian aparat yang terbukti melakukan kekerasan terhadap massa aksi.
Langkah-langkah konkret seperti itu, jika dilakukan, tidak hanya menunjukkan iktikad baik, tetapi juga dapat menjadi penanda awal dari proses rekonsiliasi antara pemerintah dan masyarakat sipil. Jangan sampai yang terjadi akhirnya sekadar penundaan demi penundaan dengan dalih birokrasi, koordinasi lintas lembaga, atau menunggu momen yang dianggap tepat.
Tugas pemerintah dan seluruh aparat negara sekarang ialah menjalankan apa yang sudah disuarakan, bukan mencari-cari alasan untuk mengabaikan. Kepercayaan publik tidak dibangun dari janji-janji panjang, melainkan dari eksekusi nyata terhadap aspirasi yang disampaikan secara terbuka dan damai.
Kemarin, kelompok masyarakat sipil dan mahasiswa dari Universitas Padjadjaran Bandung mendesak DPR dan pemerintah agar segera menindaklanjuti tuntutan publik yang tertuang dalam '17+8' itu. Mereka menyatakan akan tetap menggelar unjuk rasa sampai tuntutan itu ditepati, terutama untuk tuntutan jangka pendek.
Demokrasi sejatinya menuntut respons yang cepat, akurat, dan berpihak kepada kepentingan masyarakat. Ketidakpekaan terhadap momentum politik seperti itu bisa menjadi bahan bakar baru bagi ketidakpuasan yang lebih luas di kemudian hari.
Selain itu, pelaksanaan tuntutan demonstran secara cepat juga akan mengirimkan sinyal positif kepada masyarakat bahwa aspirasi mereka didengar dan dihargai. Hal itu penting dalam membangun iklim politik yang sehat, yakni politik yang menghadirkan dialog antara rakyat dan pemerintah yang tidak hanya berhenti di jalanan, tetapi berlanjut di ruang-ruang kebijakan yang konkret.
Pemerintah seharusnya menjadikan momen kali ini sebagai batu loncatan untuk mereformasi pendekatan terhadap aspirasi publik. Dengan menyegerakan langkah-langkah pelaksanaan yang memungkinkan, negara dapat menunjukkan bahwa demokrasi masih hidup dan bekerja untuk rakyat.
Kondisi yang mulai tenang saat ini bukan alasan untuk kembali berdiam diri. Justru inilah waktu paling tepat untuk bertindak memulihkan kepercayaan rakyat terhadap institusi-institusi negara.
Ketika amarah mulai reda dan ruang dialog terbuka, saat itulah kebijakan yang nyata dan berdampak langsung bisa menjadi penenang yang hakiki. Jangan biarkan rakyat malah berpikir bahwa diamnya negara adalah bentuk perlawanan yang pasif terhadap perubahan yang mereka perjuangkan.