Fajar Nugraha • 25 September 2025 20:05
Nuuk: Perdana Menteri Denmark, Mette Frederiksen, secara resmi meminta maaf kepada puluhan wanita di Greenland atas skandal pemberian alat kontrasepsi paksa (koil) kepada ribuan perempuan Inuit. Skandal tersebut merupakan bagian dari program pengendalian kelahiran yang kontroversial pada tahun 1960-an dan 70-an.
"Para perempuan terkasih. Keluarga terkasih. Greenland terkasih. Hari ini hanya ada satu hal yang benar untuk dikatakan kepada kalian. Maaf," ujar Frederiksen di hadapan para hadirin yang memadati pusat ibu kota Nuuk, seperti dikutip BBC, Kamis, 25 September 2025.
"Maaf atas ketidakadilan yang dilakukan terhadap anda. Karena Anda adalah warga Greenland. Maaf atas apa yang diambil dari anda. Dan atas rasa sakit yang ditimbulkannya. Atas nama Denmark. Maaf," tambah Frederiksen.
Frederiksen mengakui banyak perempuan mengalami trauma, komplikasi fisik, dan beberapa tidak dapat memiliki anak. Selama acara, seorang perempuan dengan cetakan tangan hitam dimulutnya membelakangi Frederiksen sebagai bentuk protes.
Sementara itu, salah satu perempuan Inuit Greenland, Naja Lyberth, perempuan pertama yang berani bersuara tentang kejadian tersebut. "Jika kita ingin maju, permintaan maaf itu penting," katanya.
Penyelidikan resmi awal bulan ini menyimpulkan, bahwa setidaknya 4.000 perempuan dipasangi koil pada tahun 1970, sebagian berusia subur. Lebih dari 300 kasus yang diperiksa, perempuan dan anak perempuan berusia 12 tahun dipasangi IUD tanpa sepengetahuan mereka.
Lyberth menyambut baik permintaan maaf dan penyelidikan Frederiksen, tetapi juga mengkritik karena penyelidikan tidak membahas pelanggaran hak asasi manusia. Salah satu korban, Elisa Christensen, menganggap permintaan maaf Frederiksen sangat baik, tetapi merasa sedih karena tidak ada kompensasi dan omong kosong belaka.
Sebanyak 143 perempuan mengajukan gugatan menuntut kompensasi dengan salah satu penggugat, Aviaq Petersen, 59, menyakini IUD-nya dipasang tanpa sepengetahuannya saat aborsi 10 tahun lalu. Kejadian tersebut menyebabkan luka dan ketidakmampuan memiliki anak seraya berharap proses rekonsiliasi formal dimulai.
Frederiksen mengumumkan, terdapat rencana untuk membentuk dana rekonsiliasi, tetapi detail jumlah penerima dan waktu pelaksanaannya belum jelas. Dana tersebut juga ditujukan untuk warga Greenland lain yang mengalami kegagalan dan diskriminasi sistematis.
Frederiksen menyebutnya sebagai salah satu babak tergelap dalam sejarah negara Denmark. Ia menekankan, bahwa para perempuan tidak ditanya, tidak punya kesempatan untuk bersuara, tidak didengar, bahkan tidak dilihat.
Greenland, koloni Denmark hingga tahun 1953, mendapatkan pemerintahan sendiri pada 1979 setelah Kopenhagen mengawasi sistem kesehatannya hingga 1992. Permintaan maaf Frederiksen muncul saat meningkatnya pengawasan Denmark-Greenladn dan tekanan internasional, termasuk minat Trump terhadap wilayah Arktik.
Kasus IUD tersebut, merupakan bagian dari serangkaian kontrovensi historis yang merusak hubungan kedua pihak, seperti kasus adopsi paksa dan pemindahan anak-anak Inuit. Kasus terbaru, upaya pemisahan ibu Greenland dari bayinya yang baru lahir, dibatalkan setelah memicu kemarahan.
Bagi korban seperti Elisa Christensen, permintaan maaf Frederiksen memicu emosi yang kompleks. Walaupun sedikit lega, tetapi pertanyaan tentang anak dan masa depan tetap tidak terjawab.
(Kelvin Yurcel)