Kerusuhan Nepal Simbol Pergeseran Geopolitik Asia Selatan

Kerusuhan yang terjadi di Nepal. Foto: Anadolu

Kerusuhan Nepal Simbol Pergeseran Geopolitik Asia Selatan

Muhammad Reyhansyah • 12 September 2025 20:00

Kathmandu: Gelombang protes yang berujung kekerasan kembali melanda Asia Selatan. Sejarah menunjukkan, demonstrasi jalanan jarang menghasilkan perubahan konstruktif, namun kawasan ini terus diguncang gejolak yang justru memperburuk kondisi politik domestik. Setelah Bangladesh terjerumus ke dalam kerusuhan, kini Nepal menghadapi krisis serupa.

Tragedi terbaru menimpa keluarga mantan Perdana Menteri Nepal Jhalanath Khanal, ketika istrinya tewas akibat rumah mereka diduga dibakar massa, yang menurut laporan dipimpin oleh kelompok aktivis Gen Z. Peristiwa ini menjadi titik panas baru yang menegaskan betapa gentingnya situasi politik di Kathmandu.

Dinamika politik domestik Nepal

Dikutip dari Eurasia Review, Jumat, 12 September 2025, Nepal selama bertahun-tahun dilanda instabilitas politik. Perdana Menteri K.P. Sharma Oli, yang sempat menjabat empat periode, mundur setelah situasi memanas menyusul larangan ketat terhadap media sosial. Dalam suasana itu, gerakan pemuda bernama Voice of Nepal’s Gen Z muncul menantang elite politik. Pertanyaan besar pun muncul: apakah pemblokiran media sosial saja cukup memicu pemberontakan besar?

Oli sendiri dikenal kontroversial, salah satunya ketika pernah berkata, “Virus India terlihat lebih mematikan dibandingkan dengan Tiongkok atau Italia.” Kebijakan luar negerinya juga menandai perubahan arah strategis Nepal, semakin condong ke Beijing ketimbang New Delhi.

Bayang-Bayang Beijing di Kathmandu

Kedekatan Nepal dengan India selama ini terjalin erat, baik secara ekonomi maupun sosial. Namun, di bawah Oli, Kathmandu semakin mengarahkan pandangannya ke Tiongkok. Situasi ini mengingatkan pada Sri Lanka di era Mahinda Rajapaksa, ketika pinjaman besar dari Beijing membuat Kolombo semakin bergantung.

Diplomat Tiongkok dilaporkan aktif mengatur kompromi internal Partai Komunis Nepal demi memastikan Oli bertahan sebagai perdana menteri penuh lima tahun. Pada Desember 2024, Oli bahkan melanggar tradisi diplomatik tak tertulis dengan menjadikan Beijing sebagai tujuan kunjungan pertama, alih-alih New Delhi. 

Dalam lawatan itu, Nepal menandatangani sejumlah kesepakatan di bawah inisiatif One Belt One Road, termasuk konektivitas darat, udara, energi, hingga telekomunikasi, serta membuka kembali jalur perdagangan Nepal–Tibet yang sempat terputus sejak 1959.

Pola yang berulang di Asia Selatan

Perkembangan Nepal tak lepas dari dinamika regional. Pada Agustus 2024, gerakan mahasiswa di Bangladesh berhasil menjatuhkan Sheikh Hasina, dengan pemerintahan sementara yang segera menjalin kesepakatan dengan Beijing.

Sri Lanka sebelumnya juga menjadi contoh nyata bagaimana pinjaman Tiongkok memicu “jebakan utang”, salah satunya lewat proyek Pelabuhan Hambantota.

Nepal menghadapi risiko serupa. Bandara Internasional Pokhara senilai USD216 juta yang didanai Bank Ekspor-Impor Tiongkok kini dikaitkan dengan dugaan korupsi masif. Sejumlah laporan menyebut sekitar USD71 juta diselewengkan melalui kesepakatan antara perusahaan Tiongkok dan politisi Nepal. Meski ada dakwaan, investigasi tak kunjung tuntas, memperburuk ketidakstabilan politik.

Pelajaran dari kawasan

Meski pola ketergantungan dan korupsi telah terlihat jelas di Sri Lanka, elite politik Nepal tampak enggan mengambil pelajaran. Sejak 2007, kehadiran Tiongkok kian menonjol di sekitar India, baik di Sri Lanka maupun Nepal.

Dukungan militer Beijing untuk Rajapaksa saat perang saudara Sri Lanka serta keterlibatannya meredam protes di Tibet pada 2008 memperlihatkan pola keterhubungan antara keamanan dan pengaruh politik.

Kini, kerusuhan Nepal mencerminkan gabungan masalah domestik dan dinamika geopolitik regional. Selama akar persoalan berupa utang, korupsi, serta intervensi eksternal tak ditangani, siklus protes dan kekerasan di Asia Selatan berisiko terus berulang. Api yang menyala di Kathmandu bukan hanya lahir dari keluhan lokal, melainkan juga dari tarik-menarik kekuatan regional, diplomasi, dan kepentingan strategis lintas batas.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Fajar Nugraha)