Ilustrasi. Foto: Freepik.
M Ilham Ramadhan Avisena • 9 April 2025 10:53
Jakarta: Penerapan tarif resiprokal (timbal balik/balasan) oleh Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump diprediksi memberi tekanan besar bagi perekonomian negara-negara mitra dagang, termasuk Indonesia. Peneliti Center of Reform on Economics (CoRE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai Indonesia belum memiliki daya tahan ekonomi yang memadai untuk menghadapi efek kebijakan tersebut.
"Kalau dikatakan Indonesia kuat, sebenarnya bisa dilihat dari beberapa indikasi awal. Misalnya IHSG yang mengalami penurunan paling tajam dibanding negara-negara Asia lainnya," kata Yusuf dikutip Rabu, 9 April 2025.
Ia menilai penurunan itu mencerminkan ketidakpercayaan investor terhadap fundamental ekonomi Indonesia, yang menyebabkan arus modal keluar dari pasar keuangan domestik.
Yusuf mengakui keterkaitan Indonesia terhadap perdagangan global memang relatif lebih rendah dibanding negara lain. Namun, hal itu tidak membuat Indonesia kebal terhadap efek lanjutan kebijakan tarif AS.
"Kita punya kontribusi share perdagangan internasional relatif kecil. Tapi yang perlu diantisipasi adalah implikasi yang lebih luas dari perang dagang yang digaungkan Presiden Trump," ujar dia.
Salah satu imbas yang dirasakan adalah tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Melemahnya rupiah berpotensi mendorong inflasi, terutama karena Indonesia masih sangat bergantung pada impor bahan baku dan barang modal untuk industri.
"Ketika impor bahan baku mengalami kenaikan harga akibat pelemahan Rupiah, industri dalam negeri mau tidak mau harus menyesuaikan ongkos produksi," terang Yusuf.
Baca juga: Tarif AS Bisa Bikin Harga-harga Melejit, Presiden Meksiko Masih Berusaha 'Rayu' Trump |