Editorial Media Indonesia: Waspada Bahaya Euforia. Foto: Media Indonesia (MI)/Duta.
Media Indonesia • 18 December 2025 05:24
Bencana banjir bandang yang dipicu oleh siklon Senyar dan meluluhlantakkan sejumlah wilayah di Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara semestinya menjadi alarm keras bagi semua pihak. Namun, deru perjalanan libur Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Nataru) yang kian dekat menunjukkan sebaliknya. Minat masyarakat untuk bepergian justru tidak surut, seolah bencana hanyalah peristiwa yang berlalu tanpa pesan.
Data Kementerian Perhubungan mencatat sebanyak 119,50 juta orang atau sekitar 42,01% penduduk diproyeksikan melakukan perjalanan selama libur Nataru. Angka itu meningkat sebesar 2,71% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Lonjakan mobilitas tersebut mencerminkan tingginya euforia liburan, tetapi sekaligus menimbulkan tanda tanya besar, yakni apakah kewaspadaan terhadap ancaman bencana telah terpinggirkan oleh hasrat bersukacita?
Fenomena itu mengindikasikan bahwa tragedi di Aceh dan Sumatra belum sepenuhnya dibaca sebagai peringatan kolektif. Potensi cuaca ekstrem pada akhir tahun tampaknya belum cukup mengusik kesadaran publik. Masyarakat lebih memilih memusatkan perhatian pada libur panjang dan perayaan pergantian tahun daripada menimbang risiko yang mengintai di balik perubahan cuaca yang semakin tak menentu.
Padahal, saat jutaan orang bergerak dari satu wilayah ke wilayah lain,
atmosfer Indonesia justru berada dalam fase paling sibuk. Berbagai fenomena angin memicu gelombang laut tinggi dan curah hujan ekstrem. Kondisi itu berpotensi besar mengganggu transportasi darat, laut, dan udara sekaligus meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi di daerah-daerah rawan. Ironisnya, ancaman itu hadir bersamaan dengan meningkatnya mobilitas masyarakat.
Risiko bencana pada periode Nataru kali ini bahkan tergolong mengkhawatirkan karena bertepatan dengan puncak intensitas hujan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprakirakan peningkatan curah hujan ekstrem pada rentang 29 Desember 2025 hingga 10 Januari 2026. Wilayah terdampak diprediksi meluas, mencakup Jawa, Lampung, Jambi, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Papua Selatan, serta sebagian besar Kalimantan.
BMKG juga mengingatkan bahwa Indonesia saat ini dikepung oleh tiga sistem siklonik, yakni siklon Bakung, bibit siklon 93S, dan bibit siklon 95S. Masing-masing berpotensi berkembang dari kategori terlemah hingga terkuat. Fakta bahwa siklon Senya yang memicu banjir bandang di Sumatra baru berada pada kategori 1 semestinya menjadi peringatan serius. Bencana besar ternyata tidak selalu menunggu badai berada pada level tertinggi.
Menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru, sudah sepatutnya semua pihak mendengar dan mematuhi peringatan BMKG. Tragedi di Aceh dan Sumatra menjadi bukti bahwa pengabaian terhadap peringatan dini berujung pada malapetaka. Banjir besar di Sumatra menyampaikan pesan lantang bahwa kelengahan, sekecil apa pun, dapat berbuah petaka yang luas dan mahal.
Ilustrasi liburan. Foto: Dok. Freepik.com.
Peringatan itu semestinya menjadi bahan renungan, baik bagi masyarakat maupun pemerintah. Ada batas etis antara keinginan bersukacita dan kepekaan terhadap kondisi alam serta duka saudara sebangsa. Tidak elok merayakan kegembiraan secara berlebihan di tengah luka yang masih menganga akibat bencana.
Di sisi lain, pemerintah sebagai pemangku kepentingan tidak boleh lelah mengingatkan publik untuk tetap waspada selama liburan. Imbauan agar menghindari wilayah rawan bencana seperti kawasan pesisir dengan potensi gelombang tinggi harus disampaikan secara konsisten dan tegas. Kehadiran negara diuji tidak hanya dalam respons darurat, tetapi juga dalam upaya pencegahan.
Mitigasi dan antisipasi bencana mesti terus diperkuat. Infrastruktur, kesiapan aparat, dan sistem peringatan dini harus berjalan seiring dengan peningkatan kesadaran publik. Karena itu, kesiapsiagaan tidak boleh bersifat normatif atau sekadar formalitas tahunan.
Pemerintah pusat dan daerah memikul tanggung jawab utama memastikan keselamatan warga negara. Koordinasi lintas sektor harus benar-benar berjalan, bukan hanya di atas kertas. Lembaga kebencanaan, otoritas perhubungan, aparat keamanan, hingga pemerintah daerah perlu bergerak dalam satu irama. Peringatan dini cuaca harus disampaikan secara jelas, konsisten, dan mudah dipahami publik, bukan sekadar deretan istilah teknis yang luput dari perhatian masyarakat awam.
Lebih dari itu, negara harus hadir secara nyata di titik-titik rawan. Infrastruktur pengendali banjir, kesiapan jalur evakuasi, hingga posko tanggap darurat tidak boleh sekadar simbol. Kecepatan respons menjadi kunci ketika cuaca ekstrem datang tanpa kompromi. Dalam konteks ini, keselamatan manusia tidak boleh dikalahkan oleh target-target administratif atau kekhawatiran citra.
Pengelola
transportasi publik pun dituntut bersikap tegas dan bertanggung jawab. Keselamatan harus menjadi panglima, bukan sekadar kelancaran arus penumpang. Penundaan atau pembatalan perjalanan akibat cuaca ekstrem seharusnya dipahami sebagai langkah penyelamatan, bukan kegagalan pelayanan. Dalam situasi genting, ketepatan waktu kehilangan relevansinya ketika nyawa manusia dipertaruhkan.
Libur akhir tahun semestinya menjadi momen refleksi, bukan pengulangan kelalaian. Bencana telah berbicara. Tinggal apakah kita bersedia mendengarkan.