Ancaman di Depan Mata, Prabowo-Gibran Harus Perkuat Pembangunan Ekonomi

Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh. Foto: MI/Ramdani.

Ancaman di Depan Mata, Prabowo-Gibran Harus Perkuat Pembangunan Ekonomi

Husen Miftahudin • 30 May 2024 17:43

Jakarta: Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka diminta untuk melanjutkan pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih kuat dan kokoh. Hal itu diperlukan guna mewujudkan cita-cita Indonesia Emas sekaligus menghalau berbagai tantangan imbas dinamika perekonomian global.

"Dengan bangun ekonomi kita yang kuat dan kokoh, pertahanan nasional kita otomatis pasti akan kokoh," ucap Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dalam acara 'Proyeksi Ekonomi Indonesia Pasca Pemilu 2024' yang diselenggarakan DPP Partai NasDem, diikuti secara daring, Kamis, 30 Mei 2024.

Surya Paloh mengingatkan, jika pembangunan perekonomian tak kokoh dan lemah, maka ketahanan nasional akan terancam. Apabila itu terjadi, dikhawatirkan stabilitas nasional rapuh yang pada gilirannya Indonesia tak akan mampu melanjutkan seluruh proses pembangunan ekonomi nasional.

Ia berharap, pemerintahan baru yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi), kembali pada komitmen untuk mempercepat dan meningkatkan progres akselerasi pembangunan.

Jika semua memiliki concern yang sama, sambung Surya Paloh, maka stabilitas ekonomi nasional akan semakin kokoh dan terjaga di tengah gejolak geopolitik dunia yang terjadi saat ini.

"Disanalah kami mengajak seluruh komponen bangsa ini untuk bisa menempatkan bagaimana rasa kepedulian dan pemahaman kita, bahwasanya nasional interest harus kita tempatkan di atas kepentingan daripada golongan dan partai politik," tutur Surya Paloh.
 

Pertumbuhan ekonomi Indonesia harus di atas 6%


Pada kesempatan yang sama Ekonom Senior Raden Pardede mengingatkan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, sebagai pemerintah baru periode 2024-2029, untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi di atas enam persen.

Jika hal tersebut berhasil dilakukan, jelas Raden, maka cita-cita Indonesia Emas yang ditargetkan pada 2045, akan terwujud.

"Kita harus bertumbuh di atas enam persen atau enam knot per jam. Tidak bisa dengan kecepatan lima knot saja (lima persen pertumbuhan ekonomi), tapi harus di atas enam knot," tutur Raden mengibaratkan pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti sebuah kapal yang sedang berlayar.

Raden menjelaskan, peran nakhoda sangat krusial dalam membawa kapal ke tempat tujuan dengan aman, nyaman, dan selamat. Jika nakhoda ugal-ugalan dalam membawa kapal berlayar, maka kapal pun akan semakin lama bersandar di tempat tujuan.

"Manakala pembuat kebijakan itu terlampau populis dalam membuat kebijakannya, kita ingatkan. Pembuat kebijakan kadang-kadang hanya bertujuan destinasi jangka pendek yang itu kadang-kadang bisa membuat persoalan sendiri. Itu harus kita ingatkan untuk tegas dalam memperhatikan sasaran jangka menengah dan panjang," terang Raden.

Jika mendapatkan nakhoda yang kompeten dan bertanggung jawab, lanjut dia, maka Indonesia akan mendapatkan kelas menengah yang besar dan tangguh dengan lapangan kerja yang produktif, pertumbuhan ekonomi yang besar, serta tingkat kemiskinan yang kecil.

"Ini yang harus dipersiapkan, pastikan seluruh mesin dan kemudi berfungsi dengan baik, sama seperti instrumen-instrumen ekonomi, bahan bakar atau layar yang memadai. Kapten atau juru mudi dan awak kapal harus lengkap semua. Bahkan jangkar yang baik, terutama pada saat kita mengendalikan kapal untuk berlayar mencapai tujuan," jelas Raden.
 
Baca juga: Ekonomi Indonesia di Atas Rata-rata Dunia, Tapi Susah Jadi Negara Maju
 

Pecut upaya transisi energi


Di sisi lain, Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai NasDem Sugeng Suparwoto juga mengingatkan pemerintahan selanjutnya untuk meneguhkan komitmen sekaligus memecut upaya transisi energi. Hal tersebut menjadi urgen dilakukan mengingat ancaman kolaps bagi perekonomian Indonesia.

Musababnya, subsidi energi kini semakin membengkak di tengah kenaikan harga minyak dunia dan perkasanya dolar Amerika Serikat (AS). Di sisi lain, upaya transisi energi sampai saat ini masih 'jalan di tempat'.

"Diperkirakan kita akan kolaps, mohon maaf, kalau sampai crude (minyak mentah) mendekati USD95. Apalagi kalau dolar AS lantas tembus, katakanlah Rp17 ribu, yang membuat angka subsidi meledak sebagaimana 2022 lalu," tutur Sugeng.

Ia juga menilai, kondisi membengkaknya subsidi energi tak bisa membuat pemerintah serta merta langsung mengambil jalan pintas dengan kebijakan unpopulis, seperti menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

Sebab, kebijakan mengerek harga BBM akan merembet pada pelemahan di sektor ekonomi lainnya. Ini terjadi gara-gara tingkat gini ratio Indonesia yang stagnan dan tak kunjung membaik.

Karena itu, ia menyarankan agar pemerintahan selanjutnya yang sudah terpilih dari kontestasi Pemilu 2024, mau dan menegaskan komitmen terhadap kebijakan transisi energi dan memperluas bauran energi baru terbarukan (EBT).

"Tampaknya ini (transisi energi) menjadi sebuah keharusan, kita harus masuk ke EBT. Karena fosil di minyak sudah defisit, kita sudah net importer sekarang," tutup Sugeng.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)