Kerja Sama Jual Beli Gas dari Blok Andaman Diharapkan Bawa Manfaat bagi Masyarakat Aceh

Ilustrasi. Foto: Dok istimewa

Kerja Sama Jual Beli Gas dari Blok Andaman Diharapkan Bawa Manfaat bagi Masyarakat Aceh

Eko Nordiansyah • 7 December 2025 18:38

Jakarta: Kerja sama PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) dengan perusahaan energi asal Abu Dhabi Mubadala Energy menjadi tonggak penting bagi ketahanan energi nasional. Namun dari sisi ekonomi politik, tantangan utama kerja sama ini adalah memastikan peran PT Pembangunan Aceh (PEMA) tidak sekadar formalitas.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Malikussaleh, Al Chaidar Abdurrahman Puteh menyatakan perjanjian PLN EPI dengan Mubadala Energy adalah langkah strategis untuk memperkuat ketahanan energi nasional, khususnya di Aceh dan Sumatera Utara. Ia menyebut, Aceh harus memperoleh manfaat nyata dari kerja sama ini.

"Peran PEMA menjadi krusial dalam memastikan bahwa manfaat lokal tidak tersisih oleh kepentingan pusat maupun korporasi asing," kata Chaidar dalam keterangannya, Minggu, 7 Desember 2025.

Ia memaparkan, PLN EPI dan Mubadala Energy menandatangani Heads of Agreement (HoA) untuk pasokan gas dari blok Andaman, dengan cadangan lebih dari 2 triliun kaki kubik (TCF). Kerja sama ini untuk menjamin pasokan energi domestik untuk Aceh dan Sumatera Utara, sekaligus mengurangi ketergantungan pada LNG impor.

"Kesepakatan ini juga dikaitkan dengan agenda transisi energi bersih, karena gas dianggap lebih ramah dibanding batu bara," ungkapnya.


(Ilustrasi. Foto: Dok istimewa)

Peran PEMA harus diperkuat

Namun, jika dilihat dari dimensi ekonomi politik, kesepakatan ini memiliki beberapa sisi yang harus dipahami oleh publik. Menurutnya, perjanjian ini jelas memperkuat posisi pusat dalam mengendalikan pasokan energi, namun Aceh dan PEMA berpotensi merasa terpinggirkan.

"PEMA seharusnya menjadi jembatan kepentingan lokal, memastikan tenaga kerja, distribusi manfaat, dan royalti masuk ke Aceh. Jika PEMA hanya dijadikan 'penonton' atau sekadar simbol, maka perjanjian ini bisa memperkuat ketimpangan antara pusat dan daerah," kata Chaidar.

Dari sisi keterlibatan korporasi asing, dalam hal ini Mubadala Energy, ia menyatakan, keberadaan korporasi asal Abu Dhabi ini akan membuka Aceh ke jaringan energi global. Hal ini bisa membuka peluang investasi, tetapi juga menimbulkan risiko ketergantungan pada modal asing sehingga kepentingan lokal bisa terpinggirkan.

"Bila masyarakat Aceh melihat bahwa hasil gas hanya menguntungkan pusat dan asing, maka akan muncul sentimen ketidakadilan. Sebaliknya, bila PEMA mampu mengartikulasikan kepentingan lokal, perjanjian ini bisa menjadi modal legitimasi politik bagi pemerintah Aceh," paparnya.

Ia berharap PLN EPI dapat bermitra dengan PEMA sebagai representasi otonomi khusus Aceh, baru kemudian membuka ruang bagi investor. Kalau tidak, posisi Aceh hanya sebagai 'konsumen', padahal Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) memberi hak khusus untuk mengelola sumber daya energi.

"Karena PEMA membeli dari PLN EPI, margin keuntungan PLN EPI otomatis membebani masyarakat Aceh. Dan dari sisi otonomi daerah, yang terjadi adalah reduksi atas kewenangan daerah. UUPA menjanjikan kemandirian energi, tapi aturan ketenagalistrikan nasional menutup ruang itu," ungkap dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Eko Nordiansyah)