Ilustrasi. Medcom.id
Al Abrar • 8 February 2025 16:49
Surabaya: Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Samsul Arifin, menilai kewenangan Kejaksaan sebagai dominus litis atau pengendali perkara dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru berpotensi mengganggu prinsip checks and balances dalam sistem peradilan pidana.
Menurut Samsul, rancangan KUHAP yang baru memberikan perluasan kewenangan Kejaksaan secara signifikan, yang dinilai terlalu berlebihan dan dapat menciptakan ketimpangan dalam sistem penegakan hukum.
“Jika sebelumnya asas dominus litis memberikan kontrol kepada Kejaksaan dalam batasan tertentu, rancangan baru justru memperkuat posisi Kejaksaan dengan memberikan hak kontrol yang hampir absolut,” kata Samsul dalam keterangannya di Surabaya, Sabtu (8/2).
Samsul menegaskan bahwa kontrol yang terlalu besar pada Kejaksaan dapat mengganggu keseimbangan kekuasaan di antara lembaga penegak hukum lainnya.
“Dalam criminal justice system, prinsip checks and balances harus dijaga agar keseimbangan kekuasaan tetap terjaga. Jika kewenangan Kejaksaan diperluas secara berlebihan, hal ini berpotensi melemahkan fungsi pengawasan antar-lembaga penegak hukum,” ujarnya.
Salah satu bentuk kewenangan baru yang diberikan dalam rancangan KUHAP adalah hak Kejaksaan untuk melakukan intervensi terhadap suatu perkara apabila dalam waktu 14 hari kepolisian tidak mengambil tindakan.
“Kewenangan ini memunculkan perdebatan terkait keseimbangan peran antar-lembaga penegak hukum. Kejaksaan diberi wewenang masuk lebih awal dalam tahapan penyelidikan dan penyidikan, yang secara tradisional merupakan ranah kepolisian. Padahal, selama ini tidak ada persoalan dalam mekanisme yang berlaku,” tegasnya.
Selain itu, rancangan KUHAP juga menimbulkan kekhawatiran terkait penentuan sah atau tidaknya tindakan hukum seperti penangkapan dan penyitaan. Saat ini, kewenangan tersebut berada pada hakim melalui mekanisme praperadilan. Namun, rancangan KUHAP yang baru berpotensi menggeser kewenangan itu dengan memberikan peran lebih besar kepada Kejaksaan.
“Hakim seharusnya tetap memiliki kewenangan untuk menilai apakah suatu proses hukum telah dilakukan sesuai aturan atau justru melanggar hak asasi tersangka. Jika Kejaksaan diberikan wewenang ini sebelum perkara diajukan ke pengadilan, maka ada potensi penyalahgunaan kekuasaan,” papar Samsul.
Ia juga menolak argumen bahwa perubahan ini dilakukan demi efisiensi dalam penegakan hukum. Menurutnya, efisiensi tidak bisa menjadi satu-satunya tolok ukur keberhasilan sistem peradilan.
“Dengan kewenangan yang semakin luas, ada potensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dapat mengancam independensi lembaga lain, terutama kepolisian dan pengadilan. Padahal, kedua lembaga ini memiliki peran penting dalam memastikan proses hukum berjalan sesuai dengan prinsip keadilan,” tandasnya.