1.000 Hari Perang Rusia-Ukraina: Akankah Berakhir di Era Trump?

Donald Trump memenangkan pemilu Presiden AS. Foto: CNN

1.000 Hari Perang Rusia-Ukraina: Akankah Berakhir di Era Trump?

Willy Haryono • 21 November 2024 08:48

Jakarta: Di penghujung masa jabatannya, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengizinkan Ukraina menggunakan rudal jarak jauh tipe Army Tactical Missile System (ATACMS) untuk menyerang target-target di wilayah yang lebih dalam di Rusia. Washington beralasan izin ini merupakan respons atas langkah Rusia yang mendatangkan pasukan Korea Utara untuk memperkuat serangannya terhadap Ukraina.

Rusia mengecam izin Biden, dan menyebutnya sebagai provokator yang dapat memperpanjang konflik atau bahkan memicu perang global. Presiden terpilih AS Donald Trump belum secara terbuka mengomentari izin Biden, namun ia beberapa kali menegaskan bahwa dirinya akan segera mengakhiri perang Rusia-Ukraina saat menjadi presiden nanti. Trump tidak mengelaborasi bagaimana dirinya akan melakukan hal tersebut.

Izin Biden dan tekad Trump tampak berseberangan, dan membuat kelanjutan dari dukungan AS terhadap Ukraina sejak dimulainya invasi Rusia pada 2022 belum dapat dipastikan. Apakah perang Rusia-Ukraina akan terus berlanjut dalam tahun-tahun ke depan, atau justru berakhir di era Trump saat dirinya dilantik pada Januari mendatang?

Trump belum pernah memaparkan seperti apa rencana mengakhiri perang Rusia-Ukraina. Namun wakilnya, JD Vance, pernah menyerukan Ukraina untuk menyerahkan beberapa wilayah yang telah direbut kepada Rusia dan mencabut permohonannya untuk bergabung ke aliansi NATO.

Calon penasihat keamanan nasional Trump, Michael Waltz dari Florida, telah mengkritik aliran bantuan AS ke Ukraina dan menyerukan negosiasi sesegera mungkin. Ia mempertanyakan apakah Negeri Paman Sam harus mendukung Ukraina sepenuhnya.

Ada anggapan bahwa Trump memang bukan sosok ‘gila perang,’ dan ia mungkin saja akan lebih menimbang opsi dialog ketimbang melanjutkan posisi AS terhadap Ukraina saat ini. Trump juga bisa saja mengikuti usulan Vance, dan mendorong Ukraina untuk bersedia melepas beberapa wilayah ke Rusia dan membatalkan ambisi bergabung ke NATO demi mengakhiri perang. Namun hal tersebut berpotensi membuat beberapa sekutu Trump di Partai Republik menuduhnya sebagai presiden AS yang menelantarkan Ukraina dan membiarkan Presiden Rusia Vladimir Putin berbuat seenaknya di Eropa.

Meski pasukan Ukraina mengalami beberapa kemenangan spektakuler, posisi Rusia secara bertahap mulai menguat di medan perang, dan kemungkinan akan terus seperti itu. Melihat tren ini, sudah lama ada kabar bahwa sejumlah pejabat AS di era Biden pun secara diam-diam mencoba mempersuasi Ukraina untuk berdialog dan mengalah demi mengakhiri perang.

Serangan balik Ukraina yang ambisius sepanjang 2023, yang ditujukan untuk memotong rute pasokan antara Rusia dan Krimea, berakhir gagal. Ukraina hanya berhasil merebut beberapa ratus kilometer persegi wilayah Rusia di Kursk Agustus lalu, tetapi Moskow perlahan-lahan telah merebut kembali wilayah itu. Sekitar 50.000 tentara, termasuk 10.000 dari Korea Utara, saat ini diposisikan untuk mempersiapkan serangan terhadap Kursk. Di saat yang sama, pasukan Rusia terus maju di wilayah timur dan selatan.

Sementara itu, Ukraina berjuang keras untuk menggalang kekuatan militer. Memasuki hari ke 1.000 invasi Rusia pada Selasa, 19 November 2024, kepolisian Ukraina dan petugas wajib militer dilaporkan menelusuri sejumlah stasiun kereta bawah tanah dan bar untuk merekrut tentara baru.

Ukraina juga membutuhkan banyak senjata, dan selama ini cenderung bergantung pada pengiriman negara-negara sekutu. Ketergantungan Ukraina pada senjata Barat dapat diartikan bahwa pengirimannya dapat terhambat faktor politik. AS yang selama ini rajin mengirim senjata ke Ukraina dapat menghentikan pasokan itu di era Trump.

Masih ada sekitar dua bulan lagi hingga Trump dilantik, dan perang Rusia-Ukraina belum menunjukkan tanda-tanda berakhir. Izin dari AS agar Ukraina bisa menggunakan rudal ATACMS diyakini hanya akan memperpanjang konflik, walau bisa saja diakhiri di era Trump.

Jika melihat beberapa faktor dan perkembangan terkini, termasuk sikap Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang belakangan mulai terdengar realistis, ada kemungkinan perang Rusia-Ukraina bisa berakhir di tahun 2025. Zelensky juga pernah berkata bahwa dirinya yakin perang di negaranya akan lebih cepat berakhir saat Trump berkuasa. Pernyataan ini merefleksikan sikap realistis Zelensky, bahwa perang dengan Rusia tidak mungkin bisa dilanjutkan tanpa dukungan dari AS.

Mungkin memang sudah saatnya bersikap realistis untuk mengakhiri perang Ukraina-Rusia. Zelensky perlu menyadari bahwa militer Rusia memang kuat, dan Ukraina tidak memiliki peluang jika tidak dibantu negara-negara besar seperti AS. Hal realistis yang dapat diambil Zelensky adalah mengalah, namun Ukraina dapat meminta semacam jaminan keamanan dari AS atau negara lain demi mencegah terjadinya serangan Rusia di masa mendatang.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Fajar Nugraha)