Presiden Yoon Suk Yeol dihadapkan pada pemakzulan. Foto: EFE-EPA
Seoul: Krisis politik menghantui Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk Yeol setelah keputusannya yang kontroversial untuk memberlakukan darurat militer menuai protes besar-besaran. Suara-suara untuk pemakzulan Yoon pun dikeluarkan.
Ribuan warga menyerukan pengunduran dirinya, namun para analis menilai kecil kemungkinan Yoon akan mundur secara sukarela, bahkan ketika proses pemakzulan mulai digulirkan.
Keputusan kontroversial Yoon Suk Yeol
Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mendapat kecaman keras setelah mengeluarkan keputusan
darurat militer pada Selasa 3 Desember 2024, yang kemudian dibatalkan beberapa jam kemudian melalui pemungutan suara darurat di parlemen.
Langkah ini dianggap sebagai upaya terencana untuk memperkuat kontrol pemerintah terhadap situasi politik yang tidak stabil.
Yong-Chool Ha, profesor ilmu politik dan Direktur Center for Korea Studies di University of Washington, menyebut Yoon sebagai figur yang percaya pada legalitas prosedur, termasuk dalam keputusan darurat militer tersebut.
"Yoon adalah individu yang unik. Dia merasa semua tindakannya harus sesuai hukum, termasuk kali ini," ujar Ha, seperti dilansir dari
Channel News Asia, Jumat 6 Desember 2024.
Hal ini membuatnya sangat kecil kemungkinan untuk mengakui kesalahan atau mundur dari jabatannya.
Pemakzulan sebagai jalan keluar
Para analis sepakat bahwa pemakzulan menjadi opsi yang paling realistis untuk mengakhiri masa jabatan Yoon. Enam partai oposisi telah mengajukan mosi pemakzulan, menuding deklarasi darurat militer Yoon sebagai pelanggaran konstitusi. Pemungutan suara atas mosi ini direncanakan berlangsung pada Sabtu, dengan syarat dukungan dua pertiga anggota parlemen agar dapat lolos.
Namun, Partai Kekuatan Rakyat (PPP) yang dipimpin Han Dong-hoon bersumpah untuk menggagalkan mosi tersebut. Han menyebut langkah ini sebagai upaya menjaga stabilitas publik, bukan sekadar pembelaan terhadap Yoon. Meski begitu, Han menekankan bahwa presiden harus tetap bertanggung jawab atas tindakannya.
Sementara itu, proses pemakzulan akan bergantung pada keputusan Mahkamah Konstitusi Korea Selatan. Dari sembilan kursi hakim, saat ini hanya enam yang terisi, dengan empat di antaranya diangkat oleh Yoon. Kondisi ini diperkirakan akan memperumit jalannya proses hukum.
Alasan di balik keputusan Yoon
Yoon diduga percaya bahwa langkah darurat militer ini akan mendapatkan dukungan dari para pendukungnya. Dalam pernyataannya, Yoon menyebut langkah tersebut sebagai satu-satunya cara untuk melindungi negara dari apa yang disebutnya sebagai "musuh negara" dan "simpatisan pro-Korea Utara."
Namun, klaim tersebut tidak disertai bukti yang jelas. Bahkan, sebanyak 18 anggota dari partainya sendiri ikut mendukung pembatalan darurat militer melalui pemungutan suara.
“Ini adalah kesalahan fatal yang membuat karier politik Yoon, partainya, dan pendukungnya dalam risiko besar,” ujar Sung-yoon Lee, seorang analis dari Woodrow Wilson International Center for Scholars.
Amarah publik yang membara
Keputusan Yoon memicu kemarahan publik yang besar. Korea Selatan memiliki sejarah kelam dengan kediktatoran militer selama hampir tiga dekade, yang penuh dengan kekerasan dan penindasan. Demokrasi di negara ini baru terwujud pada 1988, sehingga langkah Yoon dianggap sebagai ancaman serius terhadap capaian demokrasi bangsa.
“Ini mengingatkan rakyat pada masa kelam saat tank melindas rakyat, tentara menembaki warga sipil, dan penangkapan serta penyiksaan terjadi secara sewenang-wenang,” kata Lee.
Protes besar-besaran di Seoul mencerminkan ketidakpuasan rakyat atas tindakan presiden yang dinilai sebagai kemunduran demokrasi.
Pandangan internasional dan dampaknya
Meski menghadapi tingkat kepuasan domestik yang rendah, Yoon memiliki reputasi internasional yang cukup baik, terutama dalam memperbaiki hubungan dengan Jepang dan memperkuat aliansi dengan Amerika Serikat.
Namun, krisis ini telah mengejutkan sekutu-sekutu Korea Selatan, termasuk AS, yang merasa kecewa dengan situasi politik yang tidak stabil.
Sementara itu, Korea Utara diperkirakan akan memanfaatkan krisis ini untuk menyudutkan Yoon.
“Korea Utara kemungkinan akan lebih agresif dan menyalahkan Yoon atas kebijakan permusuhannya, bahkan terhadap rakyatnya sendiri,” ujar Lee.
Dengan tingkat kepuasan publik yang hanya sekitar 20 persen sebelum krisis ini, posisi Yoon semakin terancam. Meski demikian, sebagai mantan jaksa dengan karier hukum panjang, ia tampaknya siap menghadapi pertarungan hukum yang berlarut-larut demi mempertahankan jabatannya. (Muhammad Reyhansyah)