Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. Foto: MI/Ebet.
SEBUAH pertanyaan menohok diajukan seorang mahasiswa di Mataram, Nusa Tenggara Barat, kepada saya pada forum Insight Talk yang digagas Kementerian Komunikasi dan Digital bekerja sama dengan Media Indonesia dan Dewan Pers, tengah pekan ini. Pertanyaan itu, "Mengapa media massa di Indonesia terkesan anti dengan artificial intelligence/AI (kecerdasan buatan)? Apakah media massa kita mengalami ketakutan terdisrupsi kesekian kali?"
Saya menjawab pertanyaan itu secara apologetik, dengan pembelaan secara proporsional. Saya katakan bahwa hampir semua media massa di Indonesia sudah memanfaatkan AI. Hampir mustahil bagi media menolak 'mesin pintar' itu. Apalagi, AI bisa membantu kerja jurnalis.
"Jurnalis yang bertahan bukan yang menolak teknologi, melainkan yang mampu membuat teknologi bekerja untuk nilai-nilai jurnalisme itu sendiri. Kami tidak takut dan tidak ada alasan untuk takut. Kami yakin, jurnalisme tetap bisa bernapas meski harus berdampingan dengan mesin," kata saya.
Namun, pemakaian AI dalam jurnalisme tak bisa seenaknya. Ia butuh koridor. Mesti dibatasi agar tidak menghancurkan jurnalisme itu sendiri. Apalagi, ada sejumlah hal dalam rumus jurnalistik yang tidak bisa disentuh akal imitasi itu.
Persis seperti yang dikatakan Louisa Compton, Kepala Pemberitaan dan Sains Fakta Channel 4, sebuah televisi di Inggris yang amat agresif memakai AI. Ia menegaskan, “Penggunaan presenter AI bukan kebiasaan kami. Kami tetap fokus pada jurnalisme manusiawi, terverifikasi, dan berdasar data, sesuatu yang belum bisa dilakukan AI.”
Channel 4 ialah televisi yang memperkenalkan presenter
AI yang benar-benar menyerupai manusia. Beberapa waktu lalu, televisi tersebut mengguncang dunia pada suatu siang di sebuah jalanan di Inggris. Di antara lalu lalang orang dan kendaraan, seorang presenter berdiri menatap kamera. Suaranya jernih, intonasinya meyakinkan, gerakannya luwes.
Namun, sejatinya sang presenter tak pernah hidup. Namanya Aisha Gaban. Meski diberi nama, Aisha Gaban bukan berasal dari daging dan darah, melainkan dari algoritma. Ia menjadi presenter program dokumenter
Dispatches: Will AI Take My Job?.
Channel 4 membuat Aisha sebagai presenter hasil teknologi kecerdasan buatan yang sudah cukup canggih untuk meniru wajah, suara, bahkan gestur manusia. Satu-satunya perbedaan ialah Aisha belum memiliki nurani manusia. Aisha memang bukan sekadar presenter televisi. Ia simbol zaman: bahwa pada era digital, manusia bisa tergantikan di ruang yang kerap disebut paling manusiawi, yakni layar televisi.
Aisha ialah refleksi nyata bahwa batas antara manusia dan mesin kini makin tipis. Bahkan, di dunia yang dulu dibangun atas rasa dan intuisi itu, mesin-mesin cerdas sedang 'belajar serius' menjadi manusia. Paradoksnya, sebagian manusia malah bekerja seperti mesin, tak menggunakan secara maksimal kecerdasan kemanusiaannya.
Langkah
Channel 4 dan tren penggunaan AI di media bukan sekadar sensasi. Data sebuah media
marketing di Inggris menyebut hampir tiga perempat pengusaha di Inggris sudah menyerahkan sebagian pekerjaan manusia kepada AI. Saat '
presenter' virtual itu menutup siaran dengan pengakuan, “Saya tidak nyata. Gambar dan suara saya dihasilkan AI,” publik menyadari bahwa zona aman manusia dalam media mulai tergeser.
Eksperimen
Channel 4, juga media-media yang lain, menjadi alarm etika. Ia menunjukkan betapa mudah publik percaya pada wajah yang tampak nyata, padahal tak punya napas. Siapa yang menjamin berita yang kita tonton bukan hasil skenario algoritma? Siapa yang memastikan bahwa kebenaran tidak dikompres sedemikian rupa sehingga menjadi sekadar rekomendasi sistem? Jadi, bukan soal anti atau permisif, ketakutan atau kelewat berani. Media mesti menimbang empati.
%20medcom_id.jpg)
Namun, untungnya, saya hidup di Indonesia. Media di negeri ini masih bersepakat untuk menjadikan manusia (jurnalis) sebagai poros utama. Penggunaan kecerdasan buatan diakomodasi, tapi kendali atas karya jurnalistik tetap ada di tangan manusia atau para jurnalis. Itu pula yang didorong melalui aturan Dewan Pers yang diterbitkan pada Mei 2025.
Pada Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/I/2025 tentang Pedoman Penggunaan Kecerdasan Buatan (AI) dalam Karya Jurnalistik itu dinyatakan bahwa penggunaan AI di media harus tetap bersifat etis (menjunjung kode etik jurnalistik), menjunjung independensi, transparan, dan tidak mengorbankan integritas jurnalistik. Kontrol manusia (jurnalis) dalam karya jurnalistik tidak bisa digantikan AI.
Fungsi AI dalam jurnalistik ialah untuk membantu meningkatkan kualitas dan efisiensi kerja, bukan memgambil alih kendali. Hasil karya jurnalistik tetap harus diverifikasi manusia untuk menjaga keakuratan, keberimbangan, dan faktualitas berita. Karena itu, transparansi dalam pembuatan atau penyuntingan konten dengan bantuan AI wajib disampaikan kepada publik. Sama seperti 'presenter'
Channel 4 Aisha Gaban yang 'menyatakan diri' bahwa ia bukan manusia, melainkan mesin kecerdasan buatan belaka.
Dunia memang cepat berubah, bahkan melompat. Bukan cuma format yang berganti, melainkan aktor utamanya juga bersalin rupa. Mesin mulai autonomus menulis, mengedit, memotong video, memersonalisasi berita. AI kini duduk di meja kerja yang dulu hanya diisi manusia.
Data
Reuters Digital News Report 2025 menunjukkan lebih dari 60% media global, termasuk Indonesia, kini telah menggunakan sistem AI di seluruh rantai produksi berita. Semua demi efisiensi dan akselerasi. Semua berlomba meraih kecepatan dan AI menyediakan diri sebagai kuda troyanya.
AI memang cepat, namun nilai berita tidaklah hanya ditentukan kecepatan, tetapi juga oleh empati, konteks, dan keberanian menafsirkan untuk memberikan perspektif. Karena itu, manusia tetap mesti memegang kendali karena empati, kedalaman, serta konteks tak akan pernah memadai oleh mesin paling cerdas dan paling 'punya rasa' sekalipun. Itu karena mereka AI, akal imitasi, bukan akal asli yang juga dipandu hati.