Masih Ketakutan Tarif Trump, BI Ramal Ekonomi Global Cuma Tumbuh 3,0% di 2025

Ilustrasi. Foto: dok RBS.

Masih Ketakutan Tarif Trump, BI Ramal Ekonomi Global Cuma Tumbuh 3,0% di 2025

Husen Miftahudin • 16 July 2025 15:30

Jakarta: Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia hanya berada di level 3,0 persen untuk sepanjang 2025. Ini imbas kekhawatiran pasar keuangan global terhadap tarif tinggi perdagangan yang diberlakukan Amerika Serikat (AS).
 
"Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan ekonomi dunia 2025 masih belum kuat sekitar 3,0 persen," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Pengumuman Hasil RDG Bulanan Periode Juli 2025, Rabu, 16 Juli 2025.
 
Perry menjelaskan, kebijakan kenaikan tarif resiprokal AS yang direncanakan berlaku mulai 1 Agustus 2025 memperlemah prospek pertumbuhan ekonomi dunia, khususnya di negara maju.
 
"Ketidakpastian ekonomi global kembali meningkat pascapengumuman kenaikan tarif efektif resiprokal AS ke beberapa negara maju dan berkembang," papar dia.
 
Ia melanjutkan, pertumbuhan ekonomi di AS, Eropa, dan Jepang dalam tren menurun di tengah ditempuhnya kebijakan fiskal ekspansif dan pelonggaran kebijakan moneter di negara tersebut.
 
Kinerja ekonomi Tiongkok juga diprakirakan belum kuat, di tengah berbagai strategi diversifikasi ekspor. Sementara itu, kinerja perekonomian India diprakirakan tetap baik didukung permintaan domestik.
 

Baca juga: Prabowo Sukses Rayu Trump, Tarif Impor Indonesia ke AS Cuma 19%


(Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Pengumuman Hasil RDG Bulanan Periode Juli 2025. Foto: Tangkapan layar YouTube Bank Indonesia)
 

Tekanan inflasi AS mereda

 
Sementara itu, Perry mengungkapkan tekanan inflasi AS masih menurun sehingga mendorong tetap kuatnya ekspektasi arah penurunan Fed Funds Rate (FFR) ke depan.
 
Di sisi lain, pergeseran aliran modal keluar dari AS ke Eropa dan negara berkembang, serta komoditas yang dianggap aman seperti emas, terus berlanjut sejalan dengan meningkatnya risiko ekonomi AS, termasuk risiko fiskal.
 
Perkembangan ini mendorong berlanjutnya pelemahan indeks mata uang dolar AS terhadap mata uang negara maju (DXY) dan negara berkembang (ADXY).
 
"Ke depan, kewaspadaan serta respons dan koordinasi kebijakan yang lebih kuat diperlukan guna memitigasi ketidakpastian perekonomian dan pasar keuangan global yang masih tinggi, serta menjaga ketahanan eksternal, menjaga stabilitas, dan mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri," terang Perry.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)