Podium Media Indonesia: Mata Air Keteladanan

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar/MI

Podium Media Indonesia: Mata Air Keteladanan

Abdul Kohar • 6 September 2025 06:23

SALAH satu pemicu aksi demonstrasi di berbagai tempat, akhir Agustus lalu, ialah memudarnya rasa empati dari para pengemban amanat rakyat. Padahal, mereka diberi mandat oleh rakyat untuk menemukan jalan bagaimana cara taraf hidup rakyat dinaikkan, kesulitan hidup rakyat diatasi, dan keadilan ditegakkan.

Rakyat ingin melihat bahwa leiden is lijden, memimpin itu menderita. Memimpin berarti berkoban. Frasa itu kerap disampaikan oleh Haji Agus Salim. Tidak sekadar disampaikan, tapi juga dijalankan secara konsisten. Kini, amat jarang publik mendapati para pemimpin mereka, pejabat mereka, wakil mereka menjalankan laku leiden is lijden itu.

Malah, yang dirasakan oleh publik ialah frasa kebalikannya, yakni leiden is genieten, memimpin ialah menikmati. Menjadi pejabat berarti menuntut, alih-alih melayani. Menjadi pengemban amanat rakyat berarti berhak atas fasilitas wah, mendapatkan privilese alias hak istimewa layaknya raja (padahal, Sri Sultan Hamengkunuwono IX yang asli Raja Yogyakarta saja tak pernah menuntut hak istimewa, terbukti rela ketika ditilang oleh Brigadir Royadin).

Pertanyaannya, apakah kebiasaan nirempati dari pelaksana mandat rakyat saat ini merupakan warisan masa lalu? Apakah tidak tampak di mata penyelenggara negara kini bagaimana para pejabat pada masa lalu menggenggam erat-erat kepercaaan rakyat, termasuk dalam cara hidup mereka? Apakah para elite kini tidak membaca, tidak mau membaca, atau tidak suka membaca kisah-kisah para pemimpin di masa lampau? Apakah tulisan sejarah itu teramat rumit untuk dipahami atau kisah nyata yang tidak masuk di akal lagi di era kini?
 

Baca: Siapa Berani Makar?

Saya ingin menghadirkan lagi, berbagai kisah dari sejumlah sumber ihwal bagaimana para petinggi di Republik ini bisa menjadi 'mata air keteladanan' (istilah yang saya cuplik dari Yudi Latif) bagi para pejabat kini. Sebagian saya nukil dari buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan karya Yudi Latif.

Ia menolak membeli sepatu Bally yang mahal meskipun berstatus sebagai wakil presiden, kendati disiapkan anggaran negara untuknya. Bung Hatta ingin menjaga sikap sederhana dan berhati-hati dalam menggunakan fasilitas negara kendati ia sangat ingin memiliki sepatu Bally. Ia pun memajang potongan iklan sepatu Bally yang sudah didiskon di dinding rumahnya, siapa tahu kelak tabungan pribadinya cukup untuk membeli. Hingga akhir hayat, Bung Hatta tak pernah membeli sepatu Bally itu.

Bung Hatta juga pernah mengganti uang kas karena tak sengaja menggunakan tiga lembar kertas dari sekretariat negara untuk urusan pribadi. Sang proklamator itu juga menolak memberitahu istrinya tentang kebijakan negara yang akan memotong nilai mata uang karena itu adalah rahasia negara, bukan rahasia pribadi, kendati berakibat secara ekonomi pada keluaganya.

Istrinya, Rahmi Hatta, pernah menyimpan uang untuk membeli mesin jahit. Namun, akibat kebijakan pemotongan mata uang (yang dirahasiakan Hatta ke istrinya), nilai uang yang dikumpulkan Rahmi Hatta jatuh dan tak cukup untuk membeli mesin jahit. Bung Hatta pernah menasihati anaknya, Gemala, agar tidak menggunakan amplop resmi konsulat untuk surat pribadi, menegaskan pemisahan antara urusan pribadi dan kedinasan.

 

MOHAMMAD NATSIR

Mohammad Natsir pernah menjadi perdana menteri. Ia terkenal karena 'Mosi Integral Natsir', yakni mengembalikan sistem negara dari federal ke NKRI. Natsir ialah teladan hidup kesederhanaan pejabat. Saking sederhananya, ia kerap memakai jas tambalan untuk berbagai acara kenegaraan.

Jas tambalan itu cermin kesederhanaan dan integritas yang tinggi di tengah jabatan penting yang diembannya, yaitu sebagai perdana menteri dan menteri-menteri lainnya. Ia memiliki gaya hidup yang sangat bersahaja, memilih untuk tidak menggunakan fasilitas kekuasaan untuk kepentingan pribadi, bahkan tetap mengenakan jas yang sudah bolong karena dimakan usia di berbagai pertemuan penting, termasuk rapat dengan presiden dan menteri.

Ia pernah menolak tawaran sisa dana taktis yang menjadi haknya setelah mundur dari jabatannya, lalu memberikannya kepada koperasi karyawan. M Natsir menunjukkan integritas yang tinggi dengan tidak membebani negara untuk kepentingan pribadi atau keluarganya sehingga anaknya pun ikut hidup dalam kesederhanaan.

 

SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX

Sultan Yogyakarta bernama kecil Gusti Raden Mas Dorodjatun itu teladan nyata seorang raja yang jauh dari kata jemawa. Bahkan, ia tak meminta diistimewakan. Sri Sultan pernah mengendarai mobil tanpa sopir dari Yogyakarta ke Pekalongan pada 1960-an. Ketika itu, polisi bernama Royadin baru naik pangkat menjadi brigadir melihat mobil melawan arah.

Royadin menghentikan mobil sedan yang dikendarai Sri Sultan HB IX untuk menepi. Lalu ia memberi hormat. "Selamat pagi, boleh ditunjukkan rebuwes (SIM dan STNK)?" ucap Royadin kepada Sultan HB IX dalam buku Sri Sultan Hamengku Buwono, Insiprasi dari Sang Pemimpin Rakyat.

Secara perlahan, kaca mobil Sultan HB IX diturunkan dan menanyakan kepada polisi. "Ada apa, pak polisi?" tanya Sultan.

Brigadir Royadin langsung kaget, melihat pria yang berada di mobil ternyata Raja Yogyakarta. "Ya Allah, sinuwun," katanya dalam hati. Namun, dia harus bersikap tegas dan tetap tubuhnya dalam sikap sempurna. "Bapak melanggar verbodden tidak boleh lewat sini, ini satu arah," kata Royadin.

Royadin juga mempersilakan Sultan HB IX untuk memeriksa tanda larangan di ujung jalan bila tidak percaya bahwa jalan itu satu arah. Namun, Sultan HB IX menolak dan mengakui kesalahannya. "Ya, saya salah, kamu benar. Saya pasti salah," ucap Sultan.

Saat Sultan HB IX turun dari mobil membawa surat kendaraan menghampiri Royidin, Sultan pun ditilang. Meski pejabat negara dan Raja Yogyakarta, Sultan HB IX tidak menggunakan kekuasaannya untuk bernegoisasi. Dia malah meminta Brigadir Royadin untuk segera membuat surat tilang karena sedang buru-buru. "Baik, Brigadir kamu buat surat tilang itu, nanti saya ikuti aturannya. Saya buru-buru, harus segera ke Tegal," kata Sultan.

 

HAJI AGUS SALIM

'Boleh jadi tidak ada tokoh bangsa yang semelarat, tapi sebahagia Haji Agus Salim', tulis ekonom Faisal Basri (almarhum) dalam sebuah artikel.

Boro-boro punya rumah, sampai wafat ia tetap berstatus 'kontraktor'. Kediamannya yang berupa rumah sempit di gang sempit masih berstatus sewa. Ketika sang penghuni, Agus Salim, wafat pada November 1954, rumah itu pun masih berstatus sewa. Padahal, kurang apa posisi yang pernah ia sandang. Ia salah satu dari sembilan perumus Pembukaan UUD 45, anggota dewan Volksraad, diplomat ulung yang meraih pengakuan internasional pertama bagi RI, dan menteri luar negeri era revolusi itu.

Beberapa tahun setelah wafatnya Agus Salim, anak-anaknya patungan membeli rumah kontrakan itu demi mengenang sang ayah. Sepanjang hidupnya, Agus Salim hidup nomaden, berpindah-pindah dari kontrakan di satu gang ke gang lainnya di berbagai kota.

Di Jakarta, Agus Salim dan keluarganya pernah tinggal di daerah Tanah Abang, Karet, Petamburan, Jatinegara, di gang-gang Kernolong, Tuapekong, Gang Listrik, dan masih banyak lagi. Bahkan, saat tinggal di Gang Listrik, Haji Agus Salim dan istrinya, Zainatun Nahar, hidup tanpa listrik gara-gara tak sanggup membayar iuran listrik.

Salah satu muridnya yang juga diplomat pejuang, Mr Mohammad Roem, mengenang kasur gulung, ruang makan, dapur, dan tempat menerima tamu di kontrakan Haji Agus Salim bersatu dalam satu ruangan besar. Nasi goreng kecap mentega menjadi menu favorit, khususnya ketika keluarga Salim sedang tidak ada makanan lain yang lebih bergizi dan tidak ada uang.

Murid politiknya yang lain, Kasman Singodimedjo, mengagumi kondisi guru besarnya itu sambil mengingat adagiumnya yang menciutkan hati, leiden is lijden, memimpin itu menderita.

Masih banyak mata air keteladanan dari para pemimpin era dulu. Ada Burhanuddin Harahap, KH Wahid Hasyim, Ir Sutami, dan beberapa lagi. Namun, untuk sementara, cukuplah empat pemimpin autentik itu dulu sebagai rujukan. Itu pun bila para penggawa negara era kini mau 'membaca' dan menjadikan mereka rujukan dan teladan. Itu pun bila elite mau menghidupkan empati.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(M Sholahadhin Azhar)