Sarjana menganggur/Ilustrasi/MI
Media Indonesia • 12 July 2025 06:11
DALAM dunia pendidikan di negeri ini, ada ungkapan yang telah tertanam berpuluh-puluh tahun dan tidak berubah hingga kini, yakni ganti menteri, ganti kebijakan, ganti kurikulum, ganti buku. Kondisi tersebut terus berulang setiap kali rezim berganti. Juga sudah dianggap hal yang lumrah atau take it for granted.
Ganti kebijakan sebenarnya oke-oke saja. Asal, kebijakan baru itu mampu menaikkan level maslahat bagi rakyat. Akan tetapi, bila yang muncul selalu mudarat, kondisi tersebut bisa berdampak serius terhadap masa depan generasi di negeri ini, terutama dalam dunia kerja.
Kurikulum, kebijakan, dan buku yang terus berganti bisa saja membuat dunia pendidikan kita tidak bisa selaras dengan kebutuhan dunia kerja (mismatch). Ada gap antara kebutuhan dunia kerja dan kemampuan angkatan kerja.
Akibatnya, tingkat pengangguran di level S-1, diploma, dan SMA jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan level sekolah dasar. Hal itu terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, yang menunjukkan jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 153 juta orang. Dari jumlah tersebut, 145 juta telah bekerja, sedangkan 7,28 juta masih menganggur.
Jika dirinci menurut tingkat pendidikan, angka pengangguran dari lulusan universitas mencapai 1 juta orang, diploma sebanyak 177 ribu orang, lulusan SMK sebesar 1,6 juta orang, SMA 2 juta orang, serta 2,4 juta orang dari lulusan SMP dan SD.
Memang, secara jumlah, angka pengangguran di level SMP dan SD lebih tinggi. Namun, secara persentase, tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK dan jenjang diploma (D-1, D-2, dan D-3) justru lebih tinggi. Lulusan perguruan tinggi saat ini yang diserap pasar kerja hanya sekitar 10,5%, jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan lulusan pendidikan dasar (SD ke bawah) yang mencapai 40%-50%.
Baca: Kenapa Lulusan Perguruan Tinggi Banyak yang Menganggur? Ini Penjelasan Resmi Pemerintah |