Sekretaris Jenderal Nato Mark Rutte. Foto: Anadolu
Fajar Nugraha • 10 July 2025 14:00
Berlin: Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte memperingatkan bahwa Tiongkok dan Rusia kini menjadi dua ancaman terbesar bagi aliansi transatlantik, dan menyatakan bahwa NATO tengah mempersiapkan kemungkinan terburuk berupa serangan penuh dari Rusia ke wilayah anggota dalam beberapa tahun ke depan.
Berbicara dalam konferensi pers bersama Kanselir Jerman Friedrich Merz di Berlin pada Rabu, 9 Juli 2025, Rutte menyatakan bahwa jika Presiden Tiongkok Xi Jinping memutuskan untuk menyerang Taiwan, ia kemungkinan besar akan meminta Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menciptakan gangguan di kawasan Eropa terlebih dahulu.
“Xi Jinping, sebelum menyerang Taiwan, kemungkinan besar akan menelepon Moskow dan meminta Putin untuk membuat kita sibuk di Eropa,” ujar Rutte, seperti dikutip dari Anadolu, Kamis, 10 Juli 2025.
Rutte menyoroti peningkatan kemampuan militer Tiongkok yang dinilainya semakin agresif. Ia menyebut bahwa Tiongkok kini memiliki lebih banyak kapal perang aktif dibanding Amerika Serikat dan berencana menambah 100 kapal lagi pada tahun 2030. Selain itu, negara tersebut telah memiliki sekitar 1.000 hulu ledak nuklir.
“Ini bukan untuk parade di Beijing. Ini untuk digunakan,” kata Rutte, menekankan keyakinannya bahwa Tiongkok memiliki niat nyata untuk menguasai Taiwan.
Rutte juga menyebut kolaborasi global yang memperkuat ancaman terhadap NATO, termasuk peran aktif Korea Utara dalam mendukung Rusia di perang Ukraina, pengiriman produk bermakna ganda (dual-use) dari Tiongkok ke Rusia, serta bantuan teknologi drone dari Iran kepada militer Rusia.
Menurut Rutte, sejumlah diskusi internal dan intelijen menunjukkan bahwa Rusia tidak akan berhenti di Ukraina, dan kemungkinan akan meluncurkan serangan terhadap wilayah NATO dalam waktu tiga hingga tujuh tahun.
“Ini adalah prediksi dari beberapa jenderal senior Jerman. Tiga tahun itu hari ini, lima tahun minggu depan, dan tujuh tahun bulan depan,” tegasnya.
Ia menegaskan bahwa komitmen untuk menaikkan belanja pertahanan bukanlah untuk menyenangkan Presiden AS Donald Trump, melainkan respons langsung terhadap ancaman yang kian nyata.
“Kami tidak menaikkan pengeluaran pertahanan ke 5% atau 3,5% untuk menyenangkan satu orang. Kami melakukannya karena tahu ancaman itu nyata. Ancaman terhadap AS, Kanada, dan negara-negara Eropa,” katanya.
(Muhammad Reyhansyah)