Personel TNI dari satuan Polisi Militer (PM) mengikuti Apel Gelar Kesiapan Pengawalan Lalu Lintas dan Pengendalian Parkir (Waldallakir) jelang HUT ke-80 TNI di Lapangan Monas, Jakarta, Senin (22/9/2025). Foto: MI/Usman Iskandar
Oleh: Safriady*
Tujuh puluh delapan tahun lalu, Tentara Nasional Indonesia (TNI) lahir dari rahim revolusi kemerdekaan. Sejak 5 Oktober 1945, TNI hadir sebagai garda terdepan mempertahankan kedaulatan bangsa dari ancaman militer kolonial Belanda maupun kekuatan asing lain yang berupaya merampas kemerdekaan Indonesia. Selama delapan dekade perjalanan sejarahnya, TNI bukan hanya menjadi saksi, tetapi juga aktor utama dalam perjalanan bangsa; mulai dari mempertahankan kedaulatan di medan pertempuran fisik, menghadapi ancaman disintegrasi, hingga menjaga stabilitas di masa reformasi.
Perjalanan TNI adalah kisah panjang tentang adaptasi, transformasi, sekaligus konsistensi dalam menjaga kedaulatan bangsa. Namun, tantangan yang dihadapi semakin kompleks. Dunia sedang bergerak menuju lanskap keamanan global yang penuh ketidakpastian, dan karakter ancaman semakin bergeser dari perang konvensional ke bentuk-bentuk baru yang dikenal sebagai irregular warfare.
Kini, ketika TNI memasuki usia ke-80 pada tahun 2025, refleksi yang muncul bukan hanya soal masa lalu, melainkan juga tentang arah masa depan. Dunia berubah cepat. Konsep pertahanan dan peperangan tidak lagi semata-mata soal pasukan infanteri, tank, atau jet tempur. Pertarungan kini juga berlangsung di dunia maya battlefield digital yang menuntut kesiapan baru, doktrin baru, dan cara pandang baru.
Perubahan Lanskap Keamanan Global
Sejarawan militer Williamson Murray (2011) menyebut bahwa evolusi perang telah mengalami beberapa revolusi, mulai dari perang industri di abad ke-19 hingga perang informasi di abad ke-21. Jika perang generasi pertama hingga ketiga didominasi oleh strategi linear, manuver mekanis, dan penggunaan senjata api modern, maka perang generasi kelima (
fifth generation warfare) menitikberatkan pada informasi, psikologi, dan teknologi digital.
Abad ke-21 memperlihatkan fenomena pergeseran fundamental dalam dinamika keamanan internasional. Jika pada era Perang Dingin dunia terbelah dalam dua blok besar dengan ancaman perang nuklir, maka kini dunia multipolar menghadirkan ancaman yang lebih kompleks, sulit ditebak, dan seringkali berbentuk hibrida. Rivalitas Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia menjadi pendorong utama perubahan, namun ancaman justru banyak datang dari aktor non-negara, kelompok milisi, hingga serangan digital.
Perang Ukraina dan konflik Gaza adalah dua cermin nyata dari wajah perang modern. Di satu sisi, tank, artileri, dan rudal tetap memainkan peran penting. Namun di sisi lain, propaganda digital, serangan siber, penggunaan drone komersial untuk operasi militer, hingga keterlibatan kelompok bayangan, memperlihatkan betapa perang konvensional kini selalu ditemani oleh strategi irregular warfare.
Tantangan Baru: Siber, Informasi, dan Persepsi
Indonesia pun tidak bisa lepas dari realitas ini. Sebagaimana ditulis oleh Andi Widjajanto mantan Menteri Sekretaris Kabinet sekaligus pakar pertahanan bahwa “era perang modern ditentukan oleh kecepatan, data, dan persepsi. Pertempuran terbesar justru berlangsung di ruang siber dan ruang opini publik, bukan sekadar di darat, laut, dan udara.” Pandangan ini menegaskan bahwa TNI tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan konvensional, melainkan juga harus mengembangkan kemampuan digital, siber, hingga kecerdasan buatan.
Di abad ke-21, wajah
irregular warfare semakin beragam dan canggih. Setidaknya ada empat dimensi utama yang kini dihadapi TNI.
Pertama,
cyber dan informasi
warfare. Serangan siber terhadap infrastruktur vital, penyebaran disinformasi, hoaks politik, hingga manipulasi opini publik lewat algoritma media sosial. Fenomena deepfake juga menjadi ancaman baru bagi stabilitas nasional.
Kedua, ancaman maritim
irregular. Ancaman ini mulai dari milisi laut, perompakan modern, hingga
illegal fishing bersenjata. Di kawasan Laut Cina Selatan, konsep
grey-zone conflict menjadikan batas antara damai dan perang semakin kabur.
Ketiga,
proxy war di Asia Tenggara. Perebutan pengaruh antara kekuatan besar kerap menggunakan negara ketiga atau aktor non-negara sebagai pion. Indonesia, sebagai negara dengan posisi geostrategis, rentan terseret dalam konflik semacam ini.
Keempat, Weaponization of Non-traditional Issues. Isu pangan, energi, iklim, hingga migrasi, kini digunakan sebagai instrumen tekanan geopolitik. Dampaknya bisa lebih destruktif daripada invasi militer langsung.
Perang digital tidak mengenal batas negara. Serangan bisa datang dari hacker anonim, kelompok non-negara, hingga aktor negara yang beroperasi melalui proksi. Indonesia sendiri sudah berkali-kali menghadapi serangan siber, baik terhadap infrastruktur vital, data pemerintah, maupun sistem finansial.
Menurut laporan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) tahun 2024, terdapat lebih dari 370 juta serangan siber yang terdeteksi sepanjang tahun itu. Angka ini meningkat 25 persen dibanding tahun sebelumnya, dengan tren utama berupa phishing, serangan ransomware, dan upaya infiltrasi pada sistem energi serta telekomunikasi. Jika infrastruktur kritis lumpuh, maka kedaulatan dan stabilitas nasional pun terancam.
Dalam konteks ini, TNI dituntut mampu beradaptasi. Seperti dikatakan Prof. Juwono Sudarsono, mantan Menteri Pertahanan RI, dalam sebuah wawancara (2023): “Pertahanan abad ke-21 adalah pertahanan jaringan. TNI harus membangun kapasitas bukan hanya di medan tempur fisik, tetapi juga medan digital di mana persepsi publik bisa menentukan hasil perang tanpa peluru.”
Momentum 80 Tahun: Antara Refleksi dan Aksi
Indonesia sebagai negara demokrasi besar dengan populasi digital terbesar keempat di dunia tentu rawan terhadap fenomena ini. Disinformasi dapat melemahkan legitimasi negara, memecah belah masyarakat, bahkan melumpuhkan moral militer. Karena itu, pertahanan digital juga harus menyentuh dimensi literasi media, kontra-propaganda, dan penguatan kesadaran publik.
Sejak 2010, pembangunan kekuatan TNI mengacu pada program
Minimum Essential Force (MEF) yang menargetkan kesiapan alutsista minimal untuk menghadapi ancaman konvensional. Namun memasuki 2030, para ahli menilai MEF harus berevolusi ke arah
Optimal Essential Force (OEF), yang bukan hanya menekankan pada kuantitas alutsista, melainkan kualitas jaringan, integrasi teknologi, serta kemampuan digital.
Usia 80 tahun adalah usia matang. Sejarah panjang TNI membuktikan ketangguhannya dalam menghadapi berbagai ancaman, mulai dari agresi militer Belanda hingga terorisme modern. Namun, refleksi kali ini lebih dari sekadar nostalgia.
Kita harus bertanya, apakah TNI siap menghadapi perang di
battlefield digital? Apakah prajurit kita hanya tangguh di hutan, laut, dan udara, tetapi rapuh di ruang siber? Apakah doktrin kita masih terpaku pada bayangan perang konvensional, sementara musuh sudah bergerak di ranah algoritma dan kecerdasan buatan? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan arah masa depan pertahanan Indonesia.
Dari Hutan ke Server
Refleksi 80 tahun TNI adalah momentum untuk menegaskan transformasi besar. Dari medan pertempuran fisik ke medan pertempuran digital, dari infanteri ke algoritma, dari senjata api ke kecerdasan buatan.
Seperti dikatakan Jenderal Andika Perkasa, mantan Panglima TNI: “
Pertahanan Indonesia di masa depan bukan soal siapa yang punya tank terbanyak, tetapi siapa yang mampu menguasai data, jaringan, dan persepsi publik.”
Maka, refleksi ini harus ditutup dengan kesadaran bahwa pertempuran esok bukan lagi sekadar perebutan wilayah, melainkan perebutan informasi. Dan di era digital, kemenangan ditentukan bukan hanya oleh siapa yang menembak lebih dulu, tetapi oleh siapa yang lebih dulu membaca data, menguasai narasi, dan melindungi jaringan. Indonesia tidak boleh tertinggal. TNI harus bergerak cepat, karena medan pertempuran digital tidak menunggu.
*Penulis adalah Pemerhati Isu Strategis