Jakarta: Program Gubenur Jawa Barat
Dedi Mulyadi yang menyelenggarakan pendidikan ala militer untuk anak-anak nakal dan bermasalah memunculkan pro dan kontra. Sejumlah lembaga HAM seperti KPAI dan Komnas HAM sudah menyatakan program ini kurang tepat dan perlu dievaluasi demi kepentingan terbaik bagi anak.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga menyampaikan penolakannya, apalagi disusul dengan guru malas juga akan dikirim ke barak militer. FSGI menilai ini merupakan kebijakan instan, tidak menyentuh akar masalahnya dan berpotensi tidak berdampak jangka panjang dalam perubahan perilaku.
Tidak adanya dokumen yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan kegiatan ini, termasuk perencanaan, pembelajaran, dan penilaian menunjukkan memang kegiatan ini tidak disiapkan dengan matang. Dokumen yang beredar selama ini hanya berupa Surat Edaran Gubernur terkait dengan pembangunan pendidikan di Jawa Barat melalui Gapura Panca Waluya.
Tidak adanya kurikulum, silabus maupun modul ajar dalam kegiatan ini menimbulkan kekhawatiran siswa-siswa ini hanya akan jadi kelinci percobaan. Idealnya dalam sebuah proses Pendidikan dilakukan dengan usaha yang sadar dan terencana.
"Jadi tujuannya harus jelas, kurikulumnya sinkron dengan tujuan, silabus juga harus ada dan modul ajar juga harus disiapkan. Sehingga bisa kemudian dilakukan evaluasi karena jelas apa yang mau diukur sesuai dengan tujuannya, instrumen yang akan digunakan, kapan akan dilakukan evaluasi serta bagaimana pengolahan hasil evaluasinya," kata Ketua Umum FSGI Fahmi Hatib di Jakarta, Senin, 19 Mei 2025.
Hasil pengawasan KPAI menunjukkan temuan bahwa pendidikan anak nakal di barak militer ternyata menunjukkan program tidak disiapkan dengan matang sehingga tidak sesuai dengan muruah kegiatan pendidikan yang sesuai peraturan perundangan pendidikan. Pertama, metode pembelajaran yang berbeda dalam proses pembelajaran pada dua lokasi yang diawasi.
Kedua, tidak adanya panduan rekruitmen peserta, ketidakseragaman proses rekrutmen yang dilakukan, tanpa ada asesmen bahkan ada siswa yang memperoleh ancaman tidak naik kelas jika tidak ikut program. Ketiga, pelaksanaan pembelajaran tidak jelas karena perbedaan jenjang pendidikan peserta. Dalam pelaksanaan pembelajaran siswa yang berasal dari jenjang berbeda dan kelas yang berbeda tetapi pada saat pembelajaran di kelas dijadikan satu.
Keempat, pengemblengan fisik berdampak kelelahan pada peserta didi. Kegiatan fisik yang intens mengakibatkan siswa kelelahan saat belajar di kelas dan tidak fokus. Kelima, minim pemahaman perlindungan anak dalam implementasinya. Para Pembina pada kegiatan ini banyak yang belum memahami perlindungan khusus dalam pengangan anak-anak yang bermasalah
“Kami meminta Menteri Pendidikan Dasar Menengah agar segera mengambil tindakan dengan menghentikan pengiriman siswa nakal ke barak militer di Jawa Barat. Karena kegiatan ini tidak memiliki landasan psikologis dan pedagogik yang jelas,” kata Fahriza Marta Tanjung, Sekjen FSGI yang juga Kepala SMK di Sumatra Utara.
Lebih lanjut Fahriza menyebutkan kegiatan barak militer tersebut tidak memiliki perencanaan aksi yang jelas. Tidak berbasiskan data, kajian dan pengalaman pihak lain sebagai contoh. Misalnya pendidikan di Sekolah Taruna Magelang, kurikulumnya jelas sebagaimana sekolah umum lainnya dan dididik oleh guru-guru berkualitas, sementara urusan pengemblengan fisik saja yang ditangani militer, porsi guru jauh lebih besar dalam proses pembelajaran.
Selama ini, untuk menangani siswa yang bermasalah, sekolah telah memiliki program pembinaan dan pelatihan seperti Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa, Pramuka, UKS, PMR dll. Jika program ini dianggap kurang berhasil, maka sudah semestinya di evaluasi dahulu apa masalahanya agar bisa dimaksimalkan, jadi tidak harus dibawa ke Barak Militer.
FSGI mengingatkan sudah ada Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP), di mana anak-anak yang terlibat kekerasan ditangani secara komprehensif dengan melibatkan instansi terkait di luar sekolah, seperti Dinas Sosial dan Dinas PPAPP selain sekolah dan Dinas Pendidikan setempat. Artinya penanganannya memang harus dilakukan bersama dengan pemerintah daerah. "Ini yang harus diperkuat perannya di daerah”, ujar Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar FSGI.
FSGI juga mengajak semua pihak untuk menggunakan peraturan perundangan dalam penanganan siswa bermasalah di sekolah, termasuk peran orangtua dalam pengasuhannya.
“Pemerintah Daerah harus memiliki program penguatan ketahanan keluarga dan Pemda harus memperbanyak pesikolog keluarga dalam membangun kesehatan mental anak dan orangtua”, tambah Retno.