Media Indonesia • 9 September 2025 06:21
SETIAP perombakan kabinet di dalam pemerintahan siapa pun, terapung harapan perbaikan dari publik di dalamnya. Itu pula yang terjadi saat Presiden Prabowo Subianto melakukan pergantian lima menteri di Kabinet Merah Putih. Ekspektasi publik akan munculnya energi baru bagi kabinet jelas sangat tinggi, apalagi di tengah kinerja kabinet yang berada dalam sorotan.
Penggantian Budi Gunawan yang menjabat menko polkam, Dito Ariotedjo pada jabatan menteri pemuda dan olahraga (menpora), Sri Mulyani yang meninggalkan pos menteri keuangan (menkeu), Budi Arie Setiadi yang menjabat menteri koperasi (menkop), serta Abdul Kadir Karding pada jabatan menteri pelindungan pekerja migran Indonesia (P2MI) jelas bukan sekadar bongkar pasang. Ibarat kinerja mesin mobil, penggantian onderdil itu punya makna jauh lebih strategis.
Ia tidak sekadar mengganti sekrup-sekrup yang kendur atau menambah bahan bakar yang mulai berkurang. Lebih jauh dari itu, perombakan kabinet hingga menyentuh lima menteri ialah kehendak kuat dari Kepala Negara untuk merespons keinginan publik agar laju kabinet kian kencang, menaklukkan berbagai hambatan yang belum bisa ditembus sebelumnya.
Masuknya Purbawa Yudhi Sadewa, Mukhtarudin, Ferry Juliantono, Mochamad Irfan Yusuf, dan Dahnil Anzar Simanjuntak ialah pesan jelas dari Presiden Prabowo bahwa kabinetnya tidak mengabaikan tuntutan publik. Namun, pesan itu juga ditujukan kepada para anggota kabinet yang baru masuk, bahwa mereka tidak bisa berleha-leha. Pundak-pundak mereka sudah harus memikul berbagai misi berat yang mesti diusung segera.
Para anggota baru Kabinet Merah Putih tidak sekadar dituntut cepat beradaptasi, tapi juga cepat dan lincah menuntaskan misi yang diamanatkan oleh rakyat. Apalagi kehadiran mereka berlangsung pada situasi yang tidak mudah. Masuknya mereka di kabinet berada di ruang yang disesaki berbagai tuntutan ketidakpuasan publik dengan ekspektasi yang amat tinggi.
Sesuai dengan amanat konstitusi, penunjukan anggota kabinet memang merupakan hak prerogatif presiden. Dalam mencopot dan menunjuk sosok-sosok yang menjadi pembantunya, kepala negara pun tidak perlu mengungkapkan alasan.
Namun, tidak berlebihan jika publik berharap perombakan kabinet itu ditujukan untuk membuat pemerintah lebih kuat dan efektif, bukan sekadar mengganti sosok yang dinilai bermasalah atau performanya belum mencapai target. Bukan pula hanya untuk bagi-bagi jabatan atau aksi balas jasa.
Masuknya nama baru hasil perombakan kabinet bisa disebut sebagai hadirnya darah baru, energi baru. Dengan darah baru, publik berharap kabinet dapat berlari lebih kencang, bertenaga, dan akurat dalam membantu presiden melayani rakyat.
Tidak kalah penting, masuknya darah baru pada kabinet bisa kian memacu soliditas di antara para pembantu Presiden untuk menjawab berbagai tuntutan rakyat yang tak cukup hanya didengar dan dicatat, tapi juga ditindaklanjuti secara cepat dan tuntas.