Presiden Prabowo Subianto. Foto: Setrpres.
Fachri Audhia Hafiez • 20 February 2025 18:01
Jakarta: Berbagai kebijakan Presiden Prabowo Subianto mengundang respons baik positif dan negatif. Respons asing di ranah geopolitik juga tak ketinggalan.
Eksponen Gerakan Mahasiswa 1998 Yogyakarta, Haris Rusly Moti, mengingatkan seluruh pihak menjaga situasi kondusif. Sehingga, tak memberi celah bagi kepentingan asing di ranah geopolitik, untuk ikut cawe-cawe.
“Kepentingan geopolitik berpotensi mulai menunggangi situasi sosial untuk menciptakan eskalasi politik. Sejumlah kebijakan nasionalistik kerakyatan yang menjadi dasar dan arah pemerintahan Prabowo berpotensi mengundang masuknya tangan-tangan senyap menciptakan situasi eskalatif,” kata Haris kepada wartawan, Kamis, 20 Februari 2025.
Menurut dia, sejumlah kebijakan Prabowo sangat nasionalistik dan berdasarkan konstitusi. Sehingga, wajar jika ada tangan-tangan asing ingin mengusik.
Moti mencontohkan kebijakan nasionalistik, seperti bergabungnya Indonesia menjadi anggota BRICS, pembentukan Danantara dan Bank Emas, kewajiban penempatan 100 persen devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam di dalam negeri. Kemudian, efisiensi untuk mengendalikan utang luar negeri dan mencegah kebocoran, dan program hilirisasi komoditi.
Pada masa lampau, menurut Haris, tangan-tangan
geopolitik masuk secara terbuka melalui lembaga donor kepada sejumlah organisasi konvensional, seperti LSM dan ormas. Tujuannya, dalam rangka mendikte arah kebijakan pemerintah. Namun kini, kata Haris, pola tersebut tampak berbeda jika dilihat secara komprehensif.
“Saya melihat saat ini berbeda, polanya dengan melakukan rekayasa salah paham terhadap sejumlah kebijakan pemerintah untuk membenturkan masyarakat dan mengobarkan kemarahan publik melalui social media dan open source,” tuturnya.
Menurut Haris, jiwa patriotik Presiden Prabowo konsisten tak ingin memecah belah dan membenturkan masyarakat untuk urusan kekuasaan. Apabila protes dan kritik bermunculan, kata Haris, dikarenakan salah paham terhadap kebijakan strategis pemerintah.
Dia melihat, dasar dan arah terobosan Presiden Prabowo sudah tepat dengan sejumlah kebijakan strategisnya, tetapi membutuhkan pemahaman, penyesuaian dan penyempurnaan di tingkat implementasinya.
“Jangankan mahasiswa dan masyarakat luas, bahkan para pemangku kebijakan di pusat hingga daerah saja masih membutuhkan pemahaman dan penyesuaian dalam pelaksanaan terhadap program strategis tersebut,” katanya.
Oleh karena itu, Haris menuturkan, wajar jika terjadi anomali dan keanehan gerakan mahasiswa. Sebagai contoh, lanjutnya, isu yang diangkat gerakan mahasiswa justru mempersoalkan soal efisiensi. Padahal, efisiensi itu ditujukan untuk mencegah kebocoran dan mengendalikan utang luar negeri yang sudah menggunung.
Menurut dia, hal ini merupakan anomali. Karena, persoalan utang luar negeri serta kebocoran dan korupsi adalah isu yang puluhan tahun yang diperjuangkan gerakan sosial di Indonesia.
"Anomali seperti ini bisa saja terjadi karena salah paham. Bisa juga terjadi karena adanya rekayasa salah paham oleh kepentingan geopolitik dan kekuatan kapital dan raja kecil dalam negeri yang dirugikan oleh kebijakan tersebut,” tegas Haris.
Meski begitu, Haris sependapat setuju dengan kritik bahwa anggaran pendidikan termasuk anggaran riset dan kajian mestinya tidak menjadi objek efisiensi. Sebab, roh atau nyawanya pendidikan tinggi itu ada pada riset, inovasi dan pengabdian.
“Jika pun ada efisiensi terhadap anggaran pendidikan, mesti dilakukan secara hati-hati agar tidak mengurangi kualitas pendidikan, termasuk kesejahteraan para pendidik, akibat berkurangnya biaya pendidikan,” katanya.