Sound Horeg Merebak, Budayakah atau Gangguan Sosial?

Ilustrasi truk berisikan sound horeg. Metrotvnews.com/Daviq Umar Al Faruq

Sound Horeg Merebak, Budayakah atau Gangguan Sosial?

Daviq Umar Al Faruq • 28 July 2025 18:01

Malang: Fenomena sound horeg yang kian menjamur di berbagai wilayah, termasuk Malang Raya, dinilai bukan bagian dari budaya. Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya Malang, Didid Haryadi, menegaskan tren ini lebih tepat disebut sebagai hiburan sesaat yang lahir dari keterbatasan akses masyarakat terhadap ruang publik.

“Fenomena sound horeg ini mencuat karena makin sempitnya akses masyarakat terhadap ruang publik yang ramah, seperti taman kota, ruang bermain anak, atau tempat hiburan rakyat,” ujar Didid, Senin, 28 Juli 2025.

Sound horeg dikenal sebagai hiburan jalanan yang menghadirkan speaker berdaya tinggi lengkap dengan lampu kelap-kelip dan dancer. Munculnya tren ini seringkali diklaim sebagai bentuk ekspresi masyarakat, bahkan disebut sebagai bagian dari budaya populer.

Namun, Didid menolak anggapan tersebut. Menurutnya, budaya tidak bisa ditentukan semata oleh popularitas atau viralitas di media sosial.

“Kalau kita bicara budaya, itu bukan hanya soal populer atau tidak. Budaya itu adalah panduan hidup a way of life yang dipelajari, dimiliki bersama, bersifat menyeluruh, dan dipraktikkan terus-menerus dalam keseharian. Sound horeg tidak memenuhi unsur-unsur itu,” tegas Didid.

Didid juga menilai, kemunculan sound horeg dipengaruhi oleh media sosial serta kecenderungan masyarakat meniru tren luar daerah atau bahkan luar negeri. Hal ini membuat persebarannya cepat, tetapi tidak memiliki akar sosial yang kuat.

“Fenomena sound horeg cepat menyebar karena pengaruh masifnya media sosial. Barangkali juga karena meniru fenomena serupa yang mirip dan terjadi di luar wilayah Indonesia,” kata Didid.

Didid membandingkan tren ini dengan fenomena musiman lainnya seperti klakson 'Om Telolet Om' atau permainan lato-lato, yang sempat viral namun kemudian meredup.

“Menurut saya sound horeg bukan budaya. Lebih identik sebagai hiburan yang muncul secara temporer saja. Budaya selalu identik dengan sesuatu yang adiluhung dan dirawat oleh anggota masyarakat dalam praktik sosialnya,” pungkas Didid.

Fenomena ini menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat. Sebagian menyambutnya sebagai hiburan murah meriah, namun tak sedikit pula yang menyoroti dampaknya terhadap ketertiban umum dan nilai sosial di lingkungan sekitar.

Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur resmi mengeluarkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 tentang Penggunaan Sound Horeg. Fatwa ini diterbitkan sebagai respons atas maraknya praktik sound horeg yang belakangan memicu kontroversi hingga keluhan warga di sejumlah daerah. 

Dalam pertimbangannya, MUI Jatim menegaskan bahwa kemajuan teknologi audio digital sejatinya hal yang positif selama digunakan untuk kepentingan yang bermanfaat dan sesuai syariah.

“Setiap individu memiliki hak berekspresi selama tidak mengganggu hak asasi orang lain,” bunyi salah satu poin dalam fatwa tersebut.

Namun demikian, penggunaan sound horeg yang melebihi ambang batas wajar, menimbulkan kebisingan ekstrem, hingga mengganggu kenyamanan, kesehatan, atau bahkan merusak fasilitas umum, dinyatakan haram. 

Hal ini juga berlaku jika di dalam kegiatan sound horeg terdapat unsur kemaksiatan seperti joget campur laki-laki dan perempuan, membuka aurat, atau hal-hal lain yang bertentangan dengan syariat Islam.

Komisi Fatwa menegaskan sound horeg tetap diperbolehkan selama diatur dengan baik. Penggunaan diperbolehkan jika volumenya masih dalam batas wajar, tidak merugikan orang lain, serta digunakan dalam kegiatan yang positif seperti pengajian, shalawatan, atau hajatan pernikahan, tanpa unsur maksiat.

Fenomena battle sound atau adu suara yang kerap terjadi di lapangan juga menjadi sorotan. Dalam fatwa itu disebutkan kegiatan battle sound yang terbukti menimbulkan kebisingan ekstrem dianggap sebagai bentuk tabdzir (pemborosan) dan idha’atul mal (penyia-nyiaan harta), sehingga diharamkan secara mutlak.

Selain itu, MUI Jatim juga menekankan adanya tanggung jawab ganti rugi jika penggunaan sound horeg terbukti merugikan orang lain. 

“Penggunaan sound horeg dengan intensitas suara melebihi batas wajar yang mengakibatkan dampak kerugian terhadap pihak lain, wajib dilakukan penggantian,” tulis salah satu poin dalam fatwa tersebut.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Al Abrar)