Safriafy, Pemerhati Isu Strategis. Foto: Dok/Istimewa
Oleh: Safriady*
Asia Tenggara merupakan kawasan dengan lanskap keamanan yang semakin rumit. Sebuah laporan dari RAND Corporation menyoroti kekhawatiran mendalam mengenai ekspansi nuklir China dan perilaku koersifnya yang menguji komitmen pertahanan Amerika Serikat dan sekutunya. Dalam konteks ini, diplomasi pertahanan China tidak hanya dilakukan melalui kekuatan militer langsung, tetapi juga melalui penjualan sistem senjata canggih seperti pesawat tempur J-10.
Konsep “Teater” J-10 di sini merujuk pada upaya China untuk menciptakan sebuah jaringan pengaruh strategis di Asia Tenggara dengan menjadikan J-10 sebagai alat utama. Jaringan ini bertujuan untuk mengikis ketergantungan tradisional negara-negara regional pada Amerika Serikat dan Rusia, sekaligus menanamkan kepentingan strategis China lebih dalam ke dalam struktur keamanan kawasan.
Dari Langit Chengdu ke Tropis Siam
Pesawat J-10C lahir dari ambisi panjang Beijing untuk keluar dari bayang-bayang ketergantungan pada Barat dan Rusia. Ia adalah simbol dari
self-reliance pertahanan Tiongkok pesawat tempur generasi 4.5 dengan radar AESA, misil PL-15 jarak jauh, dan kemampuan tempur udara yang menantang F-16 dan Rafale. Namun, di balik tubuhnya yang ramping dan kokpit digital, J-10C memikul beban yang lebih besar dari sekadar teknologi ia adalah instrumen diplomasi strategis Tiongkok. Setiap unit yang dijual bukan hanya transaksi, melainkan perluasan pengaruh.
Ketika Pakistan menerima armada J-10C pertama pada 2022, Beijing sesungguhnya sedang mengirim pesan bahwa ia kini mampu bersaing di arena ekspor militer, wilayah yang selama puluhan tahun didominasi Amerika Serikat dan Eropa. Klaim Pakistan saat J-10C mereka berhasil menembak jatuh pesawat tempur India, termasuk pesawat Rafale buatan Prancis, dalam suatu baku tembak pada Mei 2025, telah menjadi bukti konsep yang sangat
powerfull bagi pemasaran China.
Peristiwa ini, meski dibantah oleh India, telah membangun narasi bahwa peralatan buatan China, bahkan versi ekspornya, modern dan mampu. Dilalah, ketika Thailand mulai mengumumkan ketertarikan pada varian J-10CE menggantikan F-16 tuanya, maka panggung itu resmi terbuka Asia Tenggara menjadi teater baru bagi pertarungan alutsista global.
Jet yang Menjadi Pesan Politik
Tidak seperti perdagangan biasa, senjata selalu membawa makna politik. Dalam dunia diplomasi militer, siapa yang Anda beli berarti siapa yang Anda percayai. Tiongkok memahami itu dengan baik. Ia tidak sekadar menjual pesawat, tetapi menjual
keanggotaan tak resmi dalam orbit pengaruhnya. Paket penjualan J-10C bukan hanya harga murah atau kredit lunak. Ia datang bersama janji kerja sama teknologi, pelatihan, dan yang paling penting
non-interference, tanpa syarat politik, tanpa tekanan HAM, tanpa kritik terhadap urusan domestik.
Bagi beberapa negara ASEAN, tawaran seperti itu terdengar menggoda. Terlebih setelah hubungan dengan Washington kerap diwarnai syarat, embargo, dan tekanan diplomatik. Dalam pandangan mereka, membeli dari Beijing berarti memperoleh kedaulatan tanpa ceramah. Namun, di situlah ironi geopolitik bermain. Sebab setiap “kebebasan” baru selalu datang dengan harga yang lain ketergantungan teknologi dan logistik kepada pemasok baru.
J-10 dan Politik Udara ASEAN
Kehadiran J-10C di Asia Tenggara menggambarkan perubahan besar dalam
politik udara regional. Dulu, setiap latihan udara gabungan selalu mengandalkan format Barat
Cobra Gold,
Pitch Black,
Cope Tiger. Kini, Beijing mulai membangun versi tandingannya
Falcon Strike latihan bersama antara Tiongkok dan Thailand yang menjadikan J-10C sebagai bintang utamanya. Dalam latihan itu, pilot Thailand dilatih langsung oleh PLAAF menggunakan prosedur dan taktik tempur Tiongkok. Ini lebih dari sekadar pertukaran teknis ini adalah pembentukan paradigma operasi baru di tubuh militer ASEAN.
Dan setiap paradigma baru selalu membawa konsekuensi politik, bagaimana interoperabilitas dengan sekutu Barat? Bagaimana mekanisme pertukaran data radar lintas sistem? Dan sejauh mana latihan seperti ini akan memengaruhi posisi ASEAN jika konflik Taiwan meletus? Dalam skenario perang modern, langit Asia Tenggara adalah panggung cadangan dari konflik Taiwan. Jika Beijing benar-benar melakukan operasi militer terhadap Taipei, jalur suplai udara dan laut di sekitar Laut Cina Selatan akan menjadi bagian dari medan konflik.
J-10C, dengan kemampuan operasi jarak menengah dan
multi-role mission, akan memainkan peran penting sebagai penjaga perimeter selatan, yang tak bisa dianggap kecil. Artinya, setiap negara ASEAN yang membeli sistem buatan Tiongkok akan berada dalam posisi sulit: menjadi
hostile neutral. Netral secara politik, namun tidak netral dalam persepsi Washington. Inilah paradoks baru dalam hubungan militer Asia Tenggara, semakin ingin netral, semakin rentan terseret ke orbit salah satu kekuatan besar.
Dampak terhadap Keseimbangan Kekuatan dan Stabilitas Regional
Keberhasilan China menempatkan J-10 di Asia Tenggara akan memiliki implikasi strategis yang mendalam. Pertama, hal ini akan mengubah kalkulus militer regional. Negara-negara tetangga akan dipaksa untuk mengevaluasi ulang postur pertahanan udaranya, berpotensi memicu lomba senjata mini. Misalnya, Vietnam, Australia, atau Malaysia mungkin merasa perlu untuk mempercepat program modernisasi jet tempur mereka.
Kedua, J-10 menjadi ujung tombak dari apa yang oleh analis RAND disebut sebagai upaya China untuk "menabur perpecahan dalam aliansi yang dipimpin AS". Dengan memasok peralatan militer canggih kepada sekutu tradisional AS seperti Indonesia, China berpotensi menciptakan keterpisahan misi (
mission divergence) yang halus.
Dalam skenario krisis di Laut China Selatan, bagaimana Indonesia akan bertindak jika kekuatan udarnya bergantung pada
platform dan suku cadang dari negara yang justru menjadi sumber krisis tersebut? Ketergantungan logistik ini dapat secara halus mempengaruhi kebebasan maneuver strategis Indonesia.
Ketegangan ini bukanlah teori belaka. Baru-baru ini, sebuah jet tempur China Su-35 dilaporkan melakukan manuver tidak aman dengan melepaskan flare di dekat pesawat patroli Australia di Laut China Selatan. Insiden seperti ini menggarisbawahi risiko eskalasi militer langsung di kawasan dan menjadi konteks yang mengkhawatirkan bagi masuknya platform militer China lebih lanjut.
Kepentingan Indonesia, Sebuah Studi Kasus yang Kompleks
Indonesia memilih jalur tengah. Dengan kombinasi Rafale (Prancis) dan F-15EX (AS), Jakarta sedang membangun postur udara yang tangguh tanpa bergantung pada satu poros. Namun, keputusan ini bukan tanpa tekanan. Jakarta muncul sebagai calon pembeli potensial terbesar di kawasan, dengan rencana pengadaan 42 unit pesawat J-10.
Keputusan ini tidak terlepas dari konteks yang lebih luas, di mana RAND Corporation mencatat bahwa arsitektur teater nuklir AS di Indo-Pasifik secara praktis tidak ada. Dalam kekosongan ini, negara-negara seperti Indonesia merasa perlu untuk memperkuat pertahanannya sendiri. Namun, minat Indonesia terhadap J-10 digerakkan oleh berbagai faktor yang saling tarik-menarik.
Di peta strategis Asia Tenggara, pembelahan itu mulai terasa jelas Langit yang dahulu diwarnai dominasi jet buatan Barat kini mulai berubah. Dalam satu dekade ke depan, Asia Tenggara mungkin akan menjadi satu-satunya kawasan di dunia di mana Rafale, F-16, Su-35, dan J-10C terbang dalam radius 2.000 kilometer yang sama. Skenario ini menciptakan
interoperability nightmare, sistem radar, logistik, dan jaringan tempur yang saling asing. Namun, di sisi lain, inilah wujud nyata dari
strategic autonomy yang lama dicita-citakan ASEAN tidak sepenuhnya Barat, tidak pula Timur.
Keberadaan Panggung J-10 di Asia Tenggara adalah sebuah realitas yang harus dihadapi dengan kebijakan yang cermat dan visioner. Bagi Indonesia dan Calon Pembeli Lain, Pemerintah Indonesia perlu melakukan uji tuntas
(due diligence)yang sangat mendalam, melampaui pertimbangan harga dan tekanan diplomatik. Sebuah Analisis Dampak Strategis yang komprehensif harus dilakukan untuk memetakan semua risiko, mulai dari operasional hingga geopolitik. Transparansi kepada publik mengenai alasan dan konsekuensi dari pembelian ini sangat penting untuk membangun dukungan domestik.
Sedangkan bagi ASEAN Masuknya J-10 dan sistem senjata canggih lainnya ke kawasan seharusnya mendorong ASEAN untuk memperkuat arsitektur keamanan regionalnya. Dialog dan mekanisme pembangunan kepercayaan (
confidence-building measures) di bidang militer, seperti notifikasi latihan militer dan pertukaran data putih pertahanan, menjadi semakin penting untuk mencegah kesalahpahaman dan eskalasi.
Teater Langit yang Terus Berputar
Langit adalah metafora paling jujur tentang posisi suatu bangsa. Ia memperlihatkan bukan hanya kekuatan militer, tapi juga ambisi politik, rasa percaya diri, dan arah masa depan. Ketika Vietnam masih percaya pada jet Rusia, Thailand mulai melirik Beijing, Filipina kembali ke Washington, dan Indonesia bermain di tengah, maka sesungguhnya ASEAN sedang menulis bab baru tentang dirinya sendiri sebuah kawasan yang belajar berdiri di antara badai.
Di dalam dunia militer, pesawat selalu memiliki dua nyawa satu di udara, satu lagi di imajinasi politik. Asia Tenggara menjadi Panggung J-10C terbang di antara keduanya sebagai mesin perang dan simbol diplomasi. Namun, sebagaimana dalam setiap teater besar, tidak semua aktor akan mendapat peran utama. Sebagian hanya akan menjadi latar penonton yang bertepuk tangan ketika pesawat asing melintas di langit mereka.
*Penulis adalah Pemerhati Isu Strategis