Pemimpin oposisi Korea Selatan (Korsel), Lee Jae-myung. Foto: Yonhap
Seoul: Pemimpin oposisi Korea Selatan (Korsel), Lee Jae-myung, yang saat ini menjadi kandidat unggulan dalam berbagai jajak pendapat, secara resmi mengumumkan pencalonannya sebagai presiden pada Kamis 10 April 2025. Dalam pernyataannya, ia menekankan komitmennya untuk mengatasi ketimpangan ekonomi serta mendorong pertumbuhan nasional sebagai agenda utama kampanyenya.
Pemilihan presiden Korea Selatan dijadwalkan berlangsung pada 3 Juni 2025, setelah pemakzulan mantan Presiden Yoon Suk Yeol yang dinyatakan sah pada April lalu. Yoon dimakzulkan setelah menerapkan hukum darurat militer pada Desember 2024, yang memicu ketidakstabilan politik di negara tersebut.
Komitmen Lee Jae-myung
Dalam video kampanye yang dirilis pada Kamis, Lee menyoroti polarisasi ekonomi sebagai pemicu utama konflik sosial yang semakin diperparah oleh krisis politik akibat kebijakan darurat Yoon. Untuk itu, ia berjanji akan mengalokasikan investasi besar-besaran di bidang teknologi dan pengembangan sumber daya manusia guna menghidupkan kembali perekonomian Korea Selatan.
Namun, kubu konservatif mengkritik pencalonan Lee dan menilai kembalinya oposisi ke kekuasaan dapat menggoyahkan aliansi dengan Amerika Serikat serta mengganggu hubungan bilateral yang membaik dengan Jepang. Menanggapi hal tersebut, Lee menegaskan pendekatan diplomasi yang lebih pragmatis.
"Secara realistis, aliansi Korea Selatan-AS tetap penting, begitu pula kerja sama antara Korea Selatan, AS, dan Jepang. Namun, prinsip utama yang harus dipegang adalah bahwa kepentingan nasional Republik Korea harus menjadi prioritas utama," ujar Lee, seperti dikutip dari
Channel News Asia, Kamis 10 April 2025.
Seorang presiden baru nantinya akan menghadapi tantangan besar dalam merundingkan kembali kebijakan tarif dengan Amerika Serikat, mengingat kebijakan perdagangan AS telah menimbulkan tekanan besar bagi perekonomian Korea Selatan yang sangat bergantung pada ekspor.
Dukungan kuat dari pemilih Liberal
Lee, yang berusia 61 tahun, sebelumnya kalah tipis dalam pemilihan presiden 2022 dari Yoon, dengan selisih suara terkecil dalam sejarah pemilu Korea Selatan. Namun, pada 2024, ia berhasil membawa Partai Demokrat meraih kemenangan besar dalam pemilihan parlemen, yang semakin memperkuat posisinya di kalangan pemilih liberal.
Pada Rabu 9 April 2025, Lee mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketua partai oposisi utama untuk memfokuskan diri pada kampanye presiden.
Menurut survei Gallup Korea yang dirilis 4 April, Lee menjadi kandidat terkuat dengan dukungan 34 persen, jauh mengungguli kandidat konservatif terdepan, Kim Moon-soo (73 tahun), yang hanya memperoleh 9 persen suara.
Di sisi lain, partai berkuasa People Power Party (PPP) belum menetapkan calon resminya dan berencana menggelar pemilihan internal pada Mei untuk menentukan kandidat yang akan diusung.
Mantan pemimpin PPP, Han Dong-hoon, juga mengumumkan pencalonannya pada Kamis, bergabung dengan daftar panjang kandidat potensial, termasuk Wali Kota Seoul Oh Se-hoon dan anggota parlemen Ahn Cheol-soo. Namun, sejauh ini, hanya Lee yang menunjukkan dominasi dalam berbagai jajak pendapat, sementara para kandidat lainnya masih berada di angka satu digit dalam survei publik.
Tantangan hukum yang dihadapi Lee Jae-myung
Meskipun menjadi kandidat terkuat, Lee masih menghadapi berbagai tantangan hukum yang berpotensi mempengaruhi pencalonannya.
Ia saat ini sedang menjalani persidangan atas dugaan kasus suap dan skandal pengembangan properti senilai USD1 miliar. Selain itu, jaksa juga mengajukan banding atas keputusan pengadilan yang membatalkan vonis bersalah Lee terkait pelanggaran undang-undang pemilu pada Maret lalu.
Belum dapat dipastikan apakah kasus hukum ini akan menjadi hambatan bagi langkahnya menuju kursi kepresidenan.
Di luar persoalan hukum, Lee juga menjadi korban serangan fisik pada Januari 2024, ketika seorang pria menusuk lehernya saat ia menghadiri sebuah acara. Lee kemudian menjalani operasi dan berhasil pulih dari insiden tersebut.
Dengan dinamika politik yang masih berkembang, pemilihan presiden mendatang diprediksi akan menjadi pertarungan sengit, terutama di tengah ketidakpastian hukum dan persaingan internal di kubu konservatif.
(Muhammad Reyhansyah)