Pakar Nilai Ada Tumpang Tindih Kewenangan dalam RKUHAP

FGD terkait RKUHAP yang diselenggarakan Koalisi Indonesia Anti Korupsi. Istimewa

Pakar Nilai Ada Tumpang Tindih Kewenangan dalam RKUHAP

Arga Sumantri • 22 March 2025 11:53

Jakarta: Tumpang tindih kewenangan dalam Revisi Kitab Undnag-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi sorotan pakar. Integritas sistem peradilan pidana di Indonesia dinilai dapat terganggu.

Ahli Hukum Pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra menjelaskan di dalam RKUHAP belum ada keserasian dan keseimbangan wewenang antar aparat penegak hukum. Ia menilai harus ada sedikit pembaruan dalam RKUHAP

Menurut dia, KUHAP baru mengandung banyak perbaikan. Namun, hal-hal esensial yang harus disikapi dan diperhatikan ialah terkait prosedur dan batasan koordinasi penyidik dan jaksa penuntut umum. 

"Karena selama ini yang terjadi hanya koordinasi formal. Misalnya, pada kasus salah satu pimpinan KPK,  sudah ditetapkan tersangka oleh kepolisian, namun kasusnya tertahan d kejaksaan dan tidak pernah digelar persidangan." kata Azmi dalam keterangannya, Sabtu, 22 Maret 2025.
 

Baca juga: Guru Besar UI: Revisi KUHAP Harus Bisa Perbaiki Mekanisme Prapenuntutan

Menurut Azmi sistem peradilan pidana yang hendak dituju diletakkan atas prinsip diferensiasi fungsional. Sebab, sebenarnya maksud undang-undang adalah gabungan fungsi untuk menegakkan fungsi, menjalankan, dan memutuskan hukum pidana.

"Jadi dalam RKUHAP harus ada keseimbangan, jangan sampai terjadi rebut merebut dan tumpang tindih kewenangan akibat tidak klik dan tidak terpadunya RKUHAP sebagai satu kesatuan Sistem Peradilan Pidana," ujarnya.

Guru Besar Universitas Djuanda Henny Nuraeny menyoroti dalam RKUHAP terdapat kedudukan yang tidak sejajar antar lembaga penegak hukum dan mengarah pada dominasi aparat penegak hukum tertentu. Reformasi perubahan KUHAP dalam perjalanannya memunculkan kritik dari berbagai pihak terutama dalam proses penyidikan. 

"Adanya perbedaan penafsiran seolah-olah aparat penegak hukum dalam RKUHAP kedudukannya tidak sejajar, tidak balance, tidak sebanding. Padahal, seyogyanya aparat penegak hukum itu harus selaras, serasi, dan berimbang kalau menurut hukum. Jadi, tidak boleh kalau satu mengatakan satu lebih dan satu di bawah," terang Henny.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Arga Sumantri)