Warga Kongo di hadapan seorang prajurit yang lakukan penjagaan. Foto: Anadolu
Fajar Nugraha • 28 February 2025 19:05
Kinshasa: Sejak awal tahun 2025, konflik bersenjata di wilayah timur Republik Demokratik Kongo semakin memburuk. Menteri Kesehatan Republik Demokratik Kongo, Samuel-Roger Kamba, melaporkan bahwa lebih dari 8.500 orang telah tewas dalam bentrokan antara pasukan pemerintah dan kelompok pemberontak M23 di Goma serta daerah sekitarnya.
Selain itu, lebih dari 5.700 orang mengalami luka-luka akibat pertempuran yang terus berlanjut.
Dalam konferensi pers terbaru, Kamba menyatakan bahwa pihaknya telah menguburkan lebih dari 8.500 korban di Kota Goma, dengan sekitar 30 jenazah masih berada di kamar mayat. Dalam dua hari terakhir saja, dari 23 hingga 25 Februari, tim medis menemukan 23 jenazah baru yang menjadi korban pertempuran terbaru.
Melansir dari Anadolu Agency, Jumat 28 Februari 2025, pemerintah Kongo juga mengecam tindakan kelompok M23 yang diduga melakukan perekrutan paksa terhadap pemuda setempat.
“Sejauh ini telah ada empat truk yang digunakan untuk membawa pemuda-pemuda Kongo secara paksa dan memaksa mereka bergabung dengan kelompok pemberontak,” ujar Kamba.
Pada 27 Januari lalu, kelompok M23, yang dituduh mendapat dukungan dari Rwanda, mengklaim telah menguasai Kota Goma. Sementara itu, pemerintah di Kinshasa menegaskan bahwa pasukan Rwanda turut terlibat dalam konflik ini, meskipun tuduhan tersebut dibantah oleh pihak Kigali.
Di tengah meningkatnya ketegangan, dua ledakan bom terjadi dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh kelompok pemberontak M23 di Kota Bukavu pada Kamis (29 Februari). Ledakan tersebut menewaskan sedikitnya 11 orang dan melukai 65 lainnya.
Hingga kini, belum ada pihak yang mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut, namun insiden ini semakin meningkatkan ketidakpastian keamanan di wilayah tersebut.
Kelompok pemberontak M23 mengklaim bahwa perjuangan mereka bertujuan untuk membela kepentingan etnis Tutsi Kongo, yang merasa mengalami diskriminasi karena memiliki hubungan etnis dengan komunitas Tutsi di Rwanda.
Sejak kembali mengangkat senjata pada akhir 2021, M23 telah menguasai sejumlah wilayah di timur Kongo, memicu gelombang pengungsian dan krisis kemanusiaan yang semakin memburuk. Konflik ini juga semakin memperburuk hubungan antara Kongo dan Rwanda, dengan tuduhan bahwa Kigali mendukung M23 demi kepentingan strategisnya di kawasan tersebut.
Jumlah korban yang terus meningkat dan situasi keamanan yang semakin tidak stabil, konflik di Kongo Timur berisiko berkembang menjadi krisis kemanusiaan yang lebih luas. Sementara pemerintah Kongo terus berupaya merebut kembali kendali atas wilayah yang dikuasai M23, belum ada tanda-tanda bahwa pertempuran akan segera mereda.
Dunia internasional kini menyoroti perkembangan situasi ini, dengan harapan adanya upaya diplomasi untuk menghentikan pertumpahan darah yang telah merenggut ribuan nyawa.
(Muhammad Reyhansyah)