Bentrok, Warga Thailand dan Kamboja Tolak Tinggalkan Rumah di Perbatasan

Pasukan Thailand di Kompleks Te Meun Thom di Provinsi Surin. Foto: Channel News Asia

Bentrok, Warga Thailand dan Kamboja Tolak Tinggalkan Rumah di Perbatasan

Fajar Nugraha • 28 July 2025 10:18

Surin: Di bawah hantaman tembakan artileri di dekat perbatasan Thailand dengan Kamboja, petani Samuan Niratpai menolak meninggalkan kawanan kerbaunya. Dia dengan keras kepala mempertaruhkan nyawanya untuk menggembalakan ternaknya.

"Pukul 5.00 pagi setiap hari, saya mendengar suara dentuman dan ledakan keras. Lalu saya lari ke hutan untuk berlindung," kata pria berusia 53 tahun itu kepada AFP di desa Baan Bu An Nong di provinsi Surin, hanya 40 km dari perbatasan yang menegangkan.

Keluarganya yang beranggotakan lima orang mengungsi ke ibu kota Bangkok pada hari pertama bentrokan, Kamis 24 Juli, tetapi ia tetap tinggal bersama kawanan ayam, tiga anjing, dan 14 kerbau kesayangan mereka.

"Bagaimana mungkin saya meninggalkan kerbau-kerbau ini?" tanyanya, matanya berkaca-kaca.

"Saya akan sangat mengkhawatirkan mereka. Setelah serangan, saya akan pergi dan menghibur mereka, mengatakan 'Tidak apa-apa, kita bersama'."

Bentrokan antara Thailand dan Kamboja memasuki hari keempat pada hari Minggu setelah pertikaian yang memanas mengenai kuil-kuil suci memicu pertempuran lintas batas yang dilancarkan dengan jet, tank, dan pasukan darat.

Pemerintah Thailand mengatakan bahwa perundingan damai antara para pemimpin dijadwalkan pada hari Senin di Malaysia.

Sementara itu, setidaknya 34 orang tewas di kedua belah pihak, sebagian besar warga sipil, dan lebih dari 200.000 orang telah meninggalkan rumah mereka di sepanjang perbatasan sepanjang 800 km, sebuah wilayah pedesaan yang dipenuhi perkebunan karet dan padi.

Namun di kedua sisi punggung bukit yang ditumbuhi pepohonan yang menandai batas antara kedua negara, banyak yang menolak untuk mengungsi.

Saat ledakan di dekatnya mengguncang restoran milik pemilik restoran Kamboja, Soeung Chhivling, ia terus menyiapkan hidangan daging sapi, menolak untuk meninggalkan dapur tempat ia memasak untuk pasukan dan petugas medis yang dimobilisasi untuk melawan Thailand.

"Saya juga takut, tapi saya ingin memasak agar mereka punya sesuatu untuk dimakan," kata perempuan berusia 48 tahun itu, di dekat rumah sakit tempat warga sipil dan tentara yang terluka dirawat.

"Saya tidak punya rencana untuk mengungsi kecuali jet menjatuhkan banyak bom," katanya kepada AFP di kota Samraong, hanya 20 km dari perbatasan Thailand, di mana sebagian besar rumah dan toko sudah kosong.

Lebih baik mati di rumah

Di pihak Thailand, Pranee Ra-ngabpai, seorang peneliti masalah perbatasan Thailand-Kamboja dan penduduk setempat, mengatakan banyak orang yang memilih untuk tetap tinggal, seperti ayahnya sendiri, adalah pria-pria yang memegang teguh nilai-nilai tradisional dan tabah.

"Dia masih di rumah saat ini dan menolak untuk pergi," kata Pranee.

"Ada pola pikir ini: 'Jika saya mati, saya lebih baik mati di rumah' atau 'Saya tidak bisa meninggalkan sapi-sapi saya’,” ujar Pranee.

Baan Bu An Nong telah ditetapkan sebagai "zona merah", yang berarti berisiko tinggi terhadap serangan udara, rentetan artileri, dan bahkan baku tembak antar pasukan darat.

Namun, salah satu pemimpin desa, Keng Pitonam, 55 tahun, juga enggan pergi. Sambil memuat rumput ke gerobak roda tiganya untuk memberi makan ternak, ia kini bertanggung jawab atas puluhan hewan tetangga serta rumah mereka.

"Saya harus tetap tinggal – ini tugas saya," kata Keng kepada AFP.

"Saya tidak takut. Saya tidak bisa mengabaikan tanggung jawab saya," katanya.

"Jika seseorang seperti saya, seorang pemimpin, meninggalkan desa, apa artinya itu? Saya harus berada di sini untuk melayani masyarakat, apa pun yang terjadi,” ujarnya.

Kuil setempatnya telah menjadi pusat sumbangan dan penyelamatan darurat, dengan ambulans yang diparkir di sekelilingnya.

"Saya harus tetap tinggal, untuk menjadi jangkar spiritual bagi mereka yang tetap tinggal," kata kepala biara itu, yang menolak menyebutkan namanya. "Apa pun yang terjadi, terjadilah."

Bersembunyi di dalam bunker hanya 10 km dari perbatasan, Sutian Phiewchan berbicara kepada AFP melalui telepon, terhenti sejenak ketika ucapannya disela oleh suara tembakan.

Ia tetap tinggal untuk memenuhi kewajibannya sebagai sukarelawan bagi pasukan pertahanan sipil setempat, yang diaktifkan untuk melindungi sekitar 40 orang yang masih tinggal di sana.

"Semua orang di sini ketakutan dan kurang tidur," kata pria berusia 49 tahun itu.

"Kami melakukan ini tanpa bayaran. Tapi ini tentang melindungi nyawa dan harta benda warga desa kami,” pungkas Phiewchan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Fajar Nugraha)