Daya Beli Menurun, Petumbuhan Ekonomi Nasional Diprediksi Stagnan

Ilustrasi. Foto: dok Save Money Changer.

Daya Beli Menurun, Petumbuhan Ekonomi Nasional Diprediksi Stagnan

Whisnu Mardiansyah • 5 May 2025 22:51

Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I-2025 berada di level 4,87 persen, menurun 1,04 persen secara tahunan. Di sisi lain, pertumbuhan secara kuartal terkontraksi sebesar -0,98 persen. Terlepas dari tren penurunan pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama setiap tahun, tidak dapat dipungkiri akan pelemahan kondisi kuartal I-2025 yang jauh lebih dalam daripada biasanya.

Padahal, pada kuartal pertama tahun ini berlangsung lebih banyak hari besar keagamaan seperti Ramadan dan Idulfitri yang pada umumnya mendorong roda produksi dan konsumsi secara bersama-sama. Nadia Restu Utami selaku Analis Ekonomi Politik LAB 45 menyebutkan rendahnya gairah perekonomian sejalan dengan beberapa tekanan makro selama tiga bulan pertama seperti pelemahan permintaan agregat, perlambatan sektor manufaktur, risiko fiskal, hingga dinamika pasar modal. Pelemahan yang terjadi saat ini juga tidak terlepas dari sentimen yang muncul imbas kebijakan Presiden Trump mengenai tarif resiprokal. 

“Indonesia pada Februari lalu sempat mencatatkan deflasi tahunan pertamanya sejak 25 tahun terakhir sebesar 0,09 persen. Fenomena ini disebabkan rendahnya demand pull inflation yang memengaruhi moderasi harga komoditas dari sisi pelemahan permintaan agregat," kata Nadia di Jakarta, Senin, 5 Mei 2025.

Nadia melanjutkan, indikasi kuat perlambatan daya beli dapat ditinjau melalui tingkat inflasi, Mandiri Spending Index, Indeks Keyakinan Konsumen, dan Indeks Penjualan Riil yang masing-masing melemah selama tiga bulan terakhir.

“Daya beli yang menurun juga tercermin dari penurunan jumlah pemudik tahun ini, data Kementerian Perhubungan dan Bank Indonesia yang menunjukkan penurunan 24 persen jumlah pemudik dibandingkan hari raya tahun lalu, yang disertai penurunan pertumbuhan jumlah uang beredar pada Maret 2025," jelasnya. 
 

Baca: Lebih Tinggi dari Nasional, Jakarta Inflasi 1,44% di April 2025

Ia melanjutkan laju ekspansi kinerja manufaktur yang tercermin dari Purchasing Managers’ Index (PMI) relatif melambat sejak Januari 2025. Nadia menyebutkan bahwa PMI April 2025 mencatat kontraksi industri manufaktur dengan penurunan tajam ke 46,7 poin, merupakan yang terparah sejak Agustus 2021 lalu. 

Fenomena ini menandai lemahnya optimisme sektor manufaktur dan berpotensi bagi perusahaan untuk mengurangi produksi, menunda ekspansi bisnis, bahkan mengurangi perekrutan tenaga kerja. Kemudian, pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sebagai salah satu indikator PMI mencapai titik terendah sejak Desember 2024. Memburuknya kondisi pasar tenaga kerja dapat dicermati dari tren PHK di sejumlah pabrik di Jawa Tengah dan Jawa Barat. 

Kementerian Ketenagakerjaan per Februari 2025 mencatat jumlah PHK sebanyak 18.610 orang. Bahkan, disinyalir terdapat perbedaan data di lapangan yang diterima Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mencapai 60.000 orang. Tertahannya laju pertumbuhan kian sejalan dengan peningkatan risiko fiskal jangka pendek. Jessica Arreta selaku Analis Ekonomi Politik LAB 45 menyampaikan APBN Q1-2025 dibukukan defisit Rp104,2 triliun akibat penerimaan negara mengalami penurunan 16,8 persensecara tahunan.

Ini kemudian memengaruhi persepsi pasar atas risiko investasi. Terlepas dari penurunan peringkat investasi Indonesia menjadi underweight oleh MSCI, dinamika ekonomi domestik makin menekan pasar keuangan. Kondisi ini tercermin dari anjloknya IHSG akibat arus keluar modal asing dan memperparah posisi nilai tukar Rupiah hingga mencapai Rp16.460 per Dolar AS (YTD). 

“Pada akhirnya, terjadi kenaikan credit default swap tenor 5 tahun ke level 97, ditandai dengan kecenderungan peningkatan imbal hasil SBN jangka panjang tenor 10 tahun menuju 7 persen," jelasnya. 

Ketidakpastian global makin menambah kompleksitas tantangan ekonomi yang tidak hanya berasal dari dinamika domestik. Menurut Jessica eskalasi perang dagang di tengah dunia multipolar turut memperburuk prospek perekonomian global. Setidaknya sepanjang tahun 2025, ketidakpastian ekonomi masih menyelimuti. Dunia menanti momentum krusial pada Juni mendatang, ketika tarif dagang Amerika Serikat mulai berlaku sementara pasar masih menantikan arah kebijakan suku bunga dari The Fed.

”Sebagai catatan, sejumlah institusi internasional seperti IMF, WTO, dan World Bank secara serempak telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global ke kisaran 2,2-2,8 persen," jelasnya. 

Koreksi proyeksi pertumbuhan juga berlaku bagi Indonesia. Per April 2025, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini mencapai 4,7 persen, lebih rendah dibandingkan proyeksi awal tahun yang mencapai 5,1 persen. Dengan kata lain, risiko terhadap stabilitas ekonomi dunia berada pada tingkat yang tinggi, tercermin dari meningkatnya volatilitas pasar keuangan, disintegrasi rantai pasok global, serta terhambatnya aktivitas investasi lintas negara. 

“Oleh karena itu, sangat diperlukan kebijakan ekspansif yang mampu menstimulasi perekonomian, baik menjaga daya beli masyarakat sebagai penopang utama struktur perekonomian maupun memelihara optimisme industri," kata Jessica.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Whisnu M)