Mantan PM Papua Nugini Pertanyakan Prajurit AS yang Kebal Hukum di Negaranya

Mantan Perdana Menteri Papua Nugini Peter O'Neill. Foto: ABC

Mantan PM Papua Nugini Pertanyakan Prajurit AS yang Kebal Hukum di Negaranya

Fajar Nugraha • 17 June 2023 19:05

Port Moresby: Mantan Perdana Menteri Papua Nugini Peter O'Neill mengemukakan kemungkinan hambatan konstitusional yang dapat ditimbulkan oleh perjanjian baru antara negaranya dengan Amerika Serikat (AS). O’Neill menilai ini mengancam kedaulatan negara.
 

"Saya pikir parlemen dan pemerintah perlu memperhatikan hal ini," kata O'Neill, seperti dikutip ABC, Sabtu 17 Juni 2023.

 

Mantan perdana menteri Papua Nugini Peter O'Neill mengatakan, Perjanjian Kerjasama Pertahanan AS-Papua Nugini yang kontroversial mengancam kedaulatan negara.

 

Dia mengatakan negosiasi perjanjian dimulai pada 2016 oleh pemerintahnya tetapi isinya berbeda dari yang ditandatangani dengan AS.

 

“Perjanjian itu melanggar kedaulatan Papua Nugini, khususnya Pasal 3 Perjanjian yang berkaitan dengan pemberian kekebalan kepada personel militer AS,” ujarnya.

 

Dia mengatakan, bagian ini menyatakan bahwa Papua Nugini menyerahkan yurisdiksinya kepada pasukan yang berkunjung dan selanjutnya menyatakan bahwa pasukan AS akan memiliki hak eksklusif atas yurisdiksi kriminal terhadap personel militer AS.

 

“Ingatlah bahwa (perjanjian) ECP Australia yang ditentang oleh Gubernur Morobe Luther Wenge dan Mahkamah Agung membatalkan perjanjian tersebut. Perjanjian (dengan AS) ini sifatnya serupa,” imbuh O’Neill.

 

“Pada saat kami mengadopsi di Parlemen ini, kami menyerahkan yurisdiksi kepada pemerintah AS sehingga hanya perlu berhati-hati dengan apa yang kami katakan,” tuturnya.

 

“Selain itu, perjanjian (itu) mengatakan bahwa pemerintah AS memiliki hak eksklusif untuk menjalankan yurisdiksi sipil dan administratif atas personel AS untuk semua tindakan mereka saat bertugas,” tambahnya.

 

Pemberitahuan penangkapan
 

Bagi O’Neill isi dari perjanjian tersebut jelas membuat waswas dalam negara Papua Nugini. Dia menyoroti ulah pasukan AS yang akan membuka peluang bertindak seenaknya.

 

“Setiap tindakan yang dilakukan di luar tugas akan berada di bawah yurisdiksi Papua Nugini tetapi otoritas Papua Nugini akan segera memberi tahu otoritas AS, dan mentransfer personel dengan benar ke otoritas AS. Bahwa otoritas AS akan diberitahu tentang penahanan atau penangkapan dan properti mereka akan tidak dapat diganggu gugat,” kata O’Neill.

 

“Ini tidak sejalan dengan ketentuan konstitusi kita. Itu diuji dengan tantangan Wenge jadi saya kira DPR dan pemerintah perlu memperhatikan ini,” ujarnya.

 

O'Neill mengatakan, Paragraf 4 menyatakan bahwa personel AS akan memiliki wewenang untuk memberlakukan tindakan disipliner di wilayah Papua Nugini sesuai dengan undang-undang dan peraturan AS.

 

Dia mengatakan Manus, Bandara Internasional Jackson, Bandara Nazab, Pelabuhan Lae, Lombrum, dan Bandara Momote adalah area di mana AS akan memiliki “akses tak terbatas” dan kendali atas fasilitas dan area ini.

 

“Ini yang kami setujui dan mereka tidak akan membayar satu kaki pun dan, menurut Pasal 5 Ayat 2, properti ini akan diberikan akses tanpa sewa dan biaya ke AS. Dan selanjutnya pada Pasal 6, pasukan AS dapat menempatkan peralatan, personel, pasokan, dan material mereka di salah satu tempat ini,” tegasnya.

 

O'Neill mengatakan bahwa ketika berbicara tentang "kepemilikan" infrastruktur, tidak ada yang akan diperbaiki dan mereka akan menghapusnya dan pergi bersama mereka.

 

Dibebaskan dari semua biaya
 

Berdasarkann perjanjian tersebut, menurut Pasal 9 ayat 2, mengatakan bahwa semua orang yang akan datang ke Papua Nugini (personel dan kontraktor militer AS) akan dibebaskan dari semua persyaratan imigrasi lainnya -,termasuk pembayaran biaya, pajak, dan bea,- untuk masuk atau pergi. keluar negara.

 

Dia mengatakan, berdasarkan Pasal 12 Ayat 4, personel AS akan dibebaskan dari pembayaran pajak, termasuk penghasilan, gaji, dan honorarium.

 

“Jadi tidak akan ada pendapatan dari pajak gaji dan upah dan dalam Paragraf 5 (itu) menyatakan bahwa termasuk kontraktor mereka (bahwa) mereka terlibat (yang) juga akan dibebaskan,” kata O’Neill.

 

“Saya tidak dapat melihat kesepakatan apa pun tentang pelatihan personel kami. Saya tidak dapat melihat personel kami terlibat dengan Angkatan Darat AS dan saya tidak dapat melihat investasi khusus dalam infrastruktur di negara ini. Jadi untuk apa kita melakukan perjanjian ini?” tanya O’Neill.

 

“Tidak ada secara spesifik manfaat apa yang akan datang karena tidak disebutkan dalam perjanjian. Dalam Perjanjian Pengendara Kapal, kami memberikan hak eksklusif atas perairan kami. Oleh karena itu kita perlu berhati-hati,” ingatnya.

 

“Saya tahu pengacara kami sedang memeriksanya, dan mungkin melihat (jika) itu sesuai dengan Konstitusi kami. Tetapi saya pikir perlu ada kejelasan lebih lanjut dalam perjanjian ini,” pungkas O’Neill.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Fajar Nugraha)