Ilustrasi Donald Trump. Foto: Unsplash.
Tokyo: Sekitar setengah dari perusahaan-perusahaan Jepang melihat kembalinya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) memberikan potensi risiko terhadap bisnis dan prospek meningkatnya proteksionisme.
Presiden Trump telah berjanji untuk memblokir usulan pengambilalihan United States Steel oleh Nippon Steel jika ia terpilih kembali pada November. Hal ini menyoroti risiko meningkatnya proteksionisme di negara dengan perekonomian terbesar di dunia, yang merupakan pasar utama bagi Jepang.
Beberapa jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan Trump sebagai kandidat terdepan dalam pemilu. Sekitar 49 persen perusahaan Jepang dalam survei bulanan perusahaan
Reuters menyebut kepresidenan Trump sebagai sebuah risiko, dan hanya tiga persen yang mengatakan hal itu adalah sebuah peluang.
Sebanyak 54 persen perusahaan menyebutkan meningkatnya proteksionisme di seluruh dunia sebagai salah satu kekhawatiran terbesar mereka menjelang masa kepemimpinan Trump yang kedua.
Meskipun sebagian besar mengatakan mereka tidak memiliki rencana untuk meninjau strategi bisnis sehubungan dengan prospek terpilihnya kembali Trump, beberapa pihak mengatakan mereka akan mempertimbangkan beberapa perubahan.
"Kami akan meningkatkan produksi kami di Amerika Serikat," kata seorang manajer di sebuah perusahaan bahan kimia, dilansir
Channel News Asia, Kamis, 22 Februari 2024.
Seorang manajer di sebuah pabrik karet mengatakan perusahaannya berencana meningkatkan belanja modal di Amerika Serikat. Manajer di sebuah perusahaan kertas dan pulp, mengatakan pihaknya sedang mempertimbangkan untuk mengubah rantai pasokan.
Survei terhadap 499 perusahaan dilakukan untuk Reuters oleh Nikkei Research dari 6 Februari hingga 16 Februari, dan perusahaan-perusahaan Jepang tersebut memberikan tanggapan dengan syarat anonimitas agar mereka dapat berbicara lebih bebas. Sebanyak 239 perusahaan merespons.
Mayoritas pesimistis dengan bisnis di Tiongkok
Jajak pendapat tersebut juga menunjukkan mayoritas perusahaan, atau 62 persen, masih pesimis terhadap bisnis di Tiongkok. Perlambatan ekonomi yang berkepanjangan di negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini menjadi perhatian utama mereka.
Sekitar satu dari tiga perusahaan mengatakan mereka mengalihkan produksi dan penjualan ke pasar lain, turun dari hampir dua dari tiga perusahaan di Oktober.
"Dengan kurangnya visibilitas terhadap pemulihan, kami mengantisipasi penurunan pesanan barang-barang ramah lingkungan dan suku cadang mobil," kata seorang manajer di sebuah perusahaan keramik.
Lebih dari separuh produsen mengatakan pendapatan mereka di Tiongkok turun akibat perlambatan ini. Namun 17 persen perusahaan mengatakan sedang mempertimbangkan untuk menarik atau mengurangi operasinya di Tiongkok.
"Jika kami menarik diri dari Tiongkok, kami tidak akan bertahan di pasar global," kata manajer sebuah perusahaan permesinan.