Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol. Foto: EFE-EPA
Seoul: Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk-yeol dilarang bepergian ke luar negeri setelah upaya gagal menerapkan darurat militer yang memicu krisis kepemimpinan dan seruan luas untuk pengunduran dirinya.
Keputusan ini diumumkan oleh Oh Dong-woon, Kepala Kantor Investigasi Korupsi untuk Pejabat Tinggi (CIO), dalam sidang parlemen. Larangan tersebut dijalankan oleh Kementerian Kehakiman, yang mengkonfirmasi bahwa perintah sudah diberlakukan.
Upaya penerapan hukum darurat pada 3 Desember lalu, yang bertujuan memberantas "kekuatan anti-negara" dan lawan politik, telah menuai kecaman luas. Yoon mencabut keputusan tersebut hanya enam jam setelah parlemen menolak dekrit itu. Namun, kegagalan ini memperburuk krisis politik yang sedang berlangsung.
Meskipun berhasil lolos dari pemungutan suara pemakzulan di parlemen pada Sabtu 7 Desember 2024, Yoon menghadapi penyelidikan pidana atas dugaan makar, menurut laporan media lokal. Mantan Menteri Pertahanan Kim Yong-hyun, yang diduga terlibat dalam pengumuman hukum darurat, telah ditangkap pada Minggu.
Partai berkuasa, People Power Party (PPP), memutuskan untuk mendelegasikan sebagian otoritas presiden kepada Perdana Menteri Han Duck-soo.
Langkah ini menimbulkan perdebatan hukum karena konstitusi tidak mengatur mekanisme serupa. Partai oposisi utama, Democratic Party (DP), menuntut pemakzulan Yoon atau pengunduran dirinya untuk menghadapi tuntutan hukum.
“Presiden memang dapat mendelegasikan otoritas tertentu, termasuk kendali militer, kepada perdana menteri. Namun, ada perdebatan apakah perdana menteri memiliki legitimasi untuk bertindak sebagai kepala negara, terutama dalam urusan diplomatik,” kata Profesor Chang Young-soo dari Korea University, melansir dari
Malay Mail, Selasa 10 Desember 2024.
Dia menambahkan, “Berbeda dengan sistem wakil presiden di Amerika Serikat, perdana menteri Korea Selatan tidak dipilih langsung oleh rakyat, sehingga legitimasi demokratisnya lebih lemah.”
Langkah ini, menurut para kritikus, menimbulkan pertanyaan tentang stabilitas jangka panjang pemerintahan.
Penolakan dari Militer
Krisis ini juga memperlihatkan gejolak dalam tubuh militer. Komandan Pasukan Khusus Korea Selatan, Kolonel Kim Hyun-tae, mengungkapkan bahwa dirinya diperintahkan untuk mengirim pasukan ke parlemen guna menghentikan pemungutan suara yang menolak hukum darurat.
“Kami semua adalah korban yang dimanipulasi oleh mantan Menteri Pertahanan Kim Yong-hyun,” ungkap Kim kepada wartawan di depan Kementerian Pertahanan.
Dia juga mengaku takut dihalangi militer untuk berbicara kepada media. Di sisi lain, pejabat militer, termasuk Menteri Pertahanan sementara, secara terbuka menyatakan bahwa mereka tidak akan mematuhi perintah serupa jika dikeluarkan lagi.
Krisis politik ini terjadi di tengah dinamika geopolitik yang rumit. Laporan tentang keterlibatan militer Korea Utara dalam perang Rusia-Ukraina memperburuk ketegangan di kawasan.
Menteri Luar Negeri Korea Selatan, Cho Tae-yul, menegaskan pentingnya memulihkan kepercayaan internasional terhadap pemerintah Seoul.
“Kita harus terus bekerja keras untuk memulihkan kepercayaan mitra internasional dan memenuhi harapan masyarakat global terhadap Korea,” kata Menlu Cho.
Sementara itu, sekutu utama Korea Selatan, Amerika Serikat, menyatakan keprihatinan. Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin membatalkan kunjungannya ke Seoul, sementara Menteri Luar Negeri Antony Blinken menghubungi mitranya di Korea Selatan, menekankan pentingnya proses demokrasi yang berjalan sesuai harapan.
(Muhammad Reyhansyah)